Berbagi Praktik Baik

Model PBL (Media Canva, Croombook, Kahoot, Mentimeter) di SDN No.41 Hulonthlangi Gorontalo.

Karya Kelas V

Hasil Karya Kelas V SDN 41 Hulonthalangi Tahun 2023.

ARCA BUDDHA CHINNARA

Arca Buddha Chinnara Lantai 3 Vihara Buddha Dharma Gorontalo.

Pentas Seni "Ibuku Pahlawanku"

Pentas Seni Sekolah Minggu Buddha Guna Dharma.

Siswa Buddha 41

Siswa Agama Buddha SDN No. 41 Hulonthalangi Gorontalo Tahun Ajaran 2023/2024

Jumat, 26 Juli 2024

Kisah Lima Ratus Bhikkhu

 

DHAMMAPADA III, 8

        Lima ratus bhikkhu yang berasal dari Savatthi, setelah memperoleh cara-cara bermeditasi dari Sang Buddha, mengadakan perjalanan sejauh seratus yojana dari Savatthi dan tiba pada sebuah hutan yang besar, suatu tempat yang cocok untuk melaksanakan meditasi. Banyak makhluk halus yang berdiam pada pohon-pohon di hutan tempat para bhikkhu tinggal, para makhluk halus itu merasa tidak sesuai berdiam di pohon bersama-sama dengan mereka.

        Para makhluk halus itu kemudian turun dari pohon dan berpikir, "Ah, para bhikkhu itu hanya bermeditasi untuk satu malam saja. Biarlah aku mengalah dan menyingkir dari pohon".

        Tetapi, sampai dini hari para bhikkhu itu belum pergi juga.

        "Celaka, jangan-jangan para bhikkhu itu akan tinggal di sini sampai akhir masa vassa. Maka aku dan keluargaku terpaksa harus tinggal di tanah dalam waktu yang lama". Pikir makhluk-makhluk halus itu lagi.

        Mereka segera berunding dan memutuskan untuk menakut-nakuti para bhikkhu tersebut pada malam harinya, dengan membuat suara-suara dan hal-hal aneh yang menakutkan. Mereka memperlihatkan tubuh tanpa kepala, kepala tanpa tubuh, kerangka-kerangka yang berjalan mondar-mandir dan sebagainya.

        Bhikkhu-bhikkhu sangat terganggu dengan tingkah laku mereka dan akhirnya meninggalkan tempat itu, kembali menghadap Sang Buddha, serta menceritakan segala yang terjadi.

        Setelah mendengarkan laporan mereka, Sang buddha mengatakan bahwa hal itu terjadi karena mereka pergi tanpa membawa apa-apa. Mereka harus kembali ke hutan itu dengan membawa sesuatu yang sesuai (cinta kasih). Kemudian Sang Buddha mengajarkan "Metta Sutta" (Sutta Pengembangan Cinta Kasih) kepada mereka, diawali dengan syair berikut:

Karaniyamattha kusalena

Yanta santam padam abhisamecca

Sakko uju ca suhuju ca

Suvaco cassa mudu anatimani, dan seterusnya...

 

Hal-hal inilah yang perlu dilakukan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan dan bermanfaat mencapai ketenangan sempurna (Nibbana).

Ia harus tepat guna, jujur, sungguh jujur, rendah hati, lemah lembut, tiada sombong, dan seterusnya...

        Bhikkhu-bhikkhu diharapkan untuk mengulang kembali sutta itu pada saat mereka tiba di pinggir hutan dan berada di vihara.

        Para bhikkhu pergi kembali ke hutan dan melakukan pesan Sang Buddha. Makhluk halus penunggu pohon mendapat pancaran cinta kasih dari bhikkhu-bhikkhu.

        Mengetahui bahwa para bhikkhu sebenarnya tidak ingin mengganggu mereka, para makhluk halus membalas dengan menyambut selamat datang dan tidak mengganggu lagi. Di hutan itu tidak ada lagi suara-suara dan penglihatan-penglihatan yang aneh. Dalam suasana damai bhikkhu-bhikkhu bermeditasi dengan obyek tubuh jasmani dan mereka memperoleh perealisasian bahwa tubuh ini rapuh dan tidak kekal keberadaannya.

        Dari Vihara Jetavana, Sang Buddha dengan kekuatan batinnya, mengetahui kemajuan batin bhikkhu-bhikkhu itu dan mengirimkan cahaya agar membuat mereka merasakan kehadiran Beliau.

        Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 40 berikut:

Dengan mengetahui bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota, dan melenyapkan Mara dengan senjata kebijaksanaan. Ia harus menjaga apa yang telah dicapainya, dan hidup tanpa ikatan lagi.

        Lima ratus bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***

Selasa, 09 Juli 2024

Kisah Cittahattha Thera

 

DHAMMAPADA III, 6-7

        Seorang laki-laki yang berasal dari Savatthi, ketika mengetahui lembu jantannya hilang, mencarinya ke dalam hutan. Yang dicari tidak juga diketemukan. Akhirnya ia merasa lelah dan sangat lapar. Ia singgah ke sebuah vihara desa, dengan harapan di situ ia akan mendapatkan sisa dari makanan pagi.

        Pada saat makan, terpikir olehnya bahwa ia bekerja sangat keras setiap hari tetapi tidak mendapatkan cukup makanan. Para bhikkhu itu kelihatannya tak pernah bekerja tetapi selalu mendapat makanan yang cukup. Bahkan berlebih. Maka muncul sebuah ide yang baik untuk menjadi seorang bhikkhu.

        Kemudian ia bertanya kepada para bhikkhu untuk memperoleh ijin memasuki pasamuan Sangha. Saat di vihara laki-laki itu melakukan tugas-tugasnya sebagai seorang bhikkhu dan di vihara terdapat banyak makanan, sehingga ia segera menjadi gemuk.

        Sesudah beberapa waktu, ia bosan berpindapatta dan kembali pada kehidupan berumah tangga.

        Beberapa waktu kemudian, ia merasa bahwa kehidupannya di rumah terlalu sibuk dan ia kembali ke vihara untuk diijinkan menjadi seorang bhikkhu untuk kedua kalinya.

        Untuk kedua kalinya, ia meninggalkan pasamuan Sangha dan lepas jubah lagi.

        Proses ini terjadi enam kali, dan karena ia melakukan hanya menuruti kemauannya saja, maka ia dikenal sebagai Cittahattha Thera.

        Pada saat pulang balik antara rumahnya dan vihara, istrinya hamil. Sebenarnya ia belum siap mejadi bhikkhu, ia memasuki pasamuan bhikkhu hanya karena kesenangannya saja. Jadi, ia tidak pernah berbahagia, baik sebagai perumah tangga, maupun sebagai seorang bhikkhu.

        Suatu hari, saat hari terakhir tinggal di rumah, ia masuk ke kamar tidur pada saat istrinya sedang tidur. Istrinya hampir telanjang, memakai pakaian yang sebagian terjulai jatuh. Istrinya juga mengorok dengan suara keras melalui hidung dan dari mulutnya keluar lendir dan ludah. Jadi dengan mulut yang terbuka dan perut yang gembung, ia terlihat seperti mayat.

        Melihat keadaan istrinya, ia tiba-tiba merasa ketidak-kekalan dan ketidak-indahan tubuh jasmani, dan ia membayangkan: "Saya telah menjadi seorang bhikkhu beberapa kali dan hal ini hanya dikarenakan perempuan ini, yang menjadikan saya tidak dapat menjadi seorang bhikkhu......"

        Kemudian ia mengambil jubah kuningnya, dan pergi meninggalkan rumahnya pergi ke vihara untuk ke tujuh kalinya. Karena ia dalam perjalanan mengulangi kata-kata "tidak kekal" dan "penderitaan" (anicca dan dukkha) dan dapat meresapi artinya, ia mencapai tingkat kesucian sotapatti dalam perjalanan ke vihara.

        Setelah tiba di vihara ia berkata kepada para bhikkhu agar diijinkan diterima dalam pasamuan Sangha.

        Para bhikkhu menolak dan berkata, "Kami tidak dapat mengijinkanmu lagi menjadi seorang bhikkhu. Kamu berulang kali mencukur rambut kepalamu sehingga kepalamu seperti sebuah batu yang diasah".

        Masih ia memohon dengan amat sangat agar diijinkan diterima dalam pasamuan Sangha sekali ini dan mereka memenuhinya. Dalam beberapa hari Bhikkhu Cittahattha mencapai tingkat kesucian arahat bersamaan dengan pandangan terang analitis.

        Bhikkhu lain kagum melihat dia sekarang dapat tetap tinggal dalam jangka waktu lama di vihara. Mereka bertanya apa sebabnya?

        Terhadap hal itu, beliau menjawab, "Saya pulang ke rumah ketika saya masih memiliki kemelekatan dalam diri saya, tetapi kemelekatan itu sekarang telah terpotong".

        Bhikkhu-bhikkhu yang tidak percaya kepadanya, menghadap Sang Buddha dan melaporkan hal itu.

        Kepada mereka, Sang Buddha berkata "Bhikkhu Cittahattha telah berbicara benar; ia berpindah-pindah antara rumah dan vihara karena waktu itu pikirannya tidak mantap dan tidak mengerti Dhamma. Tetapi pada saat ini, Cittahattha telah menjadi seorang arahat; ia telah mengatasi kebaikan dan kejahatan".

        Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 38 dan 39 berikut ini:

Orang yang pikirannya tidak teguh, yang tidak mengenal ajaran yang benar, yang keyakinannya selalu goyah, orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.

Orang yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian, yang telah mengatasi keadaan baik dan buruk, di dalam diri orang yang selalu sadar seperti itu tidak ada lagi ketakutan.

Jumat, 05 Juli 2024

Kisah Samgharakkhita Thera

 

DHAMMAPADA III, 5

        Suatu hari, tinggallah di Savatthi, seorang bhikkhu senior yang bernama Samgharakkhita. Ketika kakak perempuannya melahirkan anak laki-laki, ia memberi nama anaknya Samgharakkhita Bhagineyya. Keponakan Samgharakkhita, pada waktu itu, juga memasuki pasamuan Sangha.

        Ketika bhikkhu muda tinggal di suatu vihara desa, ia diberi dua buah jubah, dan ia bermaksud memberikan satu jubah kepada pamannya, Samgharakkhita Thera. Akhir masa vassa, bhikkhu muda itu pergi ke pamannya untuk memberi hormat kepadanya dan memberikan jubah. Tetapi pamannya menolak untuk menerima jubah itu, dan berkata bahwa ia sudah mempunyai cukup. Walaupun bhikkhu muda mengulangi lagi permintaannya, pamannya tetap tidak mau. Bhikkhu muda itu merasa sakit hati dan berpikir bahwa sejak saat itu pamannya tidak sudi untuk berbagi kebutuhan dengannya. Akan lebih baik baginya untuk meninggalkan pasamuan Sangha dan hidup sebagai seorang perumah tangga.

        Dari masalah itu, pikirannya mengembara dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain. Ia berpikir bahwa setelah meninggalkan pasamuan Sangha, ia akan menjual jubahnya dan membeli seekor kambing betina. Kambing betina itu akan segera melahirkan anak. Anak-anak kambing dijual dan segera ia akan mempunyai uang cukup untuk menikah. Istrinya akan melahirkan seorang anak laki-laki. Ia akan membawa istri dan anaknya dengan sebuah kereta kecil untuk berkata bahwa ia akan menggendong anaknya. Tetapi istrinya berkata kepadanya agar ia mengendarai kereta saja dan jangan mengurusi anak. Ia bersikeras dan merebut anak dari istrinya. Sewaktu terjadi perebutan, anak itu terjatuh dan terlindas roda kereta. Dengan marah ia memukul istrinya dengan cemeti.

        Pada saat itu ia membelakangi pamannya dengan memegang kipas daun palem dan ia dengan tidak sengaja memukul kepala pamannya dengan kipasnya.

        Samgharakkhita tua mengetahui pikiran bhikkhu muda itu dan berkata, "Kamu tidak sanggup menghajar istrimu; mengapa kamu menghajar seorang bhikkhu tua?"

        Samgharakkhita muda sangat terkejut dan malu atas kata-kata bhikkhu tua itu. Ia juga menjadi sangat ketakutan dan kemudian melarikan diri. Bhikkhu-bhikkhu muda lainnya dan penjaga vihara mengejarnya dan akhirnya membawanya ke hadapan Sang Buddha.

        Ketika membicarakan seluruh kisah bhikkhu muda itu, Sang Buddha berkata bahwa pikiran memiliki kemampuan untuk berpikir pada suatu obyek yang berkepanjangan, dan seseorang seharusnya berusaha keras untuk bebas dari belenggu nafsu keinginan, kebencian, dan kegelapan bathin.

        Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 37 berikut ini:

Pikiran itu selalu mengembara jauh, tidak berujud, dan terletak jauh di lubuk hati. Mereka yang dapat mengendalikannya, akan bebas dari jeratan Mara.

        Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***