Senin, 24 Juni 2024

Nemiraja Jataka Kesempurnaan Tekad (NIMI Jataka)

No. 54162
Nimi-Jataka

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Lihat rambut putih ini,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Guru ketika berdiam di hutan mangga Makhadeva, di dekat Mithila, mengenai sebuah senyuman. Suatu hari di menjelang malam, Guru bersama sekelompok besar bhikkhu sedang berjalan mondar-mandir di hutan mangga, ketika la melihat sebuah tempat yang menyenangkan. Ingin menceritakan mengenai perilakunya pada masa lampau, ia membuat senyuman terlihat di wajahnya. Ketika ditanya oleh Bhikkhu Ananda mengapa Ia tersenyum, Ia menjawab, “Di tempat itu, Ananda, suatu ketika Saya pernah berdiam, dalam konsentrasi meditasi mendalam, pada masa pemerintahan Raja Makhadeva.” Kemudian atas permintaannya, Ia duduk di tempat yang telah disediakan, dan menceritakan kisah masa lampau.

Suatu ketika, dalam Kerajaan Videha, dalam Kota Mithila, ada rajanya yang bernama Makhadeva63. Empat puluh delapan ribu tahun lamanya ia menikmati kesenangan indra sebagai pemuda, empat puluh delapan ribu tahun lamanya ia menjadi raja muda, delapan puluh empat ribu tahun lamanya ia menjadi raja.

Kemudian, ia meminta pencukur rambutnya untuk segera memberitahunya jika ia melihat rambut putih di kepalanya.

Ketika berulangkali pencukur rambut melihat rambut putih, dan memberitahu raja, ia menyuruh pencukur rambut itu mencabut rambut putih dengan sepasang penjepit, dan meletakkannya di tangan raja. Ketika melihat kematian seolah bercokol di kepalanya, [96] raja berpikir, “Kini tiba waktunya bagiku meninggalkan keduniawian.” Maka ia memberikan desa pilihan kepada pencukur rambut, dan memanggil putra sulungnya, memberitahunya untuk mengemban pemerintahan, karena ia sendiri hendak meninggalkan keduniawian. “Mengapa, Baginda?” tanya putra sulungnya. Raja menjawab: “Lihat rambut putih yang muncul di kepalaku Hasil dari hidup yang telah kulalui tahun demi tahun: Mereka adalah utusan Surgawi, yang mengingatkan Bahwa saatnya mesti meninggalkan keduniawian telah dekat.”

Dengan kata-kata ini ia menobatkan putranya menjadi raja dengan upacara pemercikan air, dan meninggalkannya pesan untuk bertindak seperti ini dan itu, lalu ia meninggalkan kota; dan menjalani kehidupan sebagai seorang bhikkhu, dan melalui praktik menjalani Empat Kondisi Tiada Tara selama delapan puluh empat ribu tahun, ia kemudian terlahir ulang di alam brahma.

Putranya pun, dengan cara yang sama, meninggalkan keduniawian, dan masuk ke alam brahma. Demikian juga putranya lagi; dan demikian pangeran demi pangeran, hingga mencapai jumlah delapan puluh empat ribu kurang dua, masing-masing melihat sehelai rambut putih di kepalanya menjadi petapa di hutan mangga ini, dan menjalani Empat Kondisi Tiada Tara, dan lahir di alam brahma. Generasi pertama dari semua yang akan lahir ini, Raja Makhadeva, di alam brahma melihat ke bawah, menyaksikan kejayaan keluarganya, dan gembira dalam hatinya melihat delapan puluh empat ribu pangeran kurang dua telah meninggalkan keduniawian.

Ia merenung: “Akankah ada Nirwana sekarang, atau tidak?” Melihat bahwa tidak ada, ia bertekad bahwa ia dan bukan yang lainnya harus menyempurnakan keluarganya. Karenanya, ia muncul turun dari alam brahma dan terkandung dalam rahim istri raja di Kota Mithila. Pada hari pemberian namanya, para peramal melihat tanda-tanda di tubuhnya dan berkata, “Raja Agung, pangeran ini lahir untuk menyempurnakan keluarga Anda. Silsilah petapa Anda tidak akan berlanjut lagi.” Mendengar ini, raja berkata, “Putra ini lahir untuk menyempurnakan keluarga saya seperti bundaran dalam roda kereta!” maka ia memberinya nama Nemi64-Kumara, atau Pangeran Bundaran.

Dari sejak kecil hingga seterusnya, bocah itu berdedikasi dalam berderma, kepada kebajikan, dan melaksanakan hari Uposatha. Kemudian ayahnya, seperti biasa, melihat ada rambut putih, memberikan sebuah desa untuk pencukur rambutnya, menjadikan putranya raja, menjadi petapa dalam hutan mangga, dan ditakdirkan lahir di alam brahma.

Raja Nimi, dalam pengabdiannya terhadap berderma, mendirikan lima balairung amal, satu di setiap empat gerbang kota, dan satu di tengah kota, dan [97] membagi-bagikan pemberian besar: di setiap balairung derma ia membagikan seratus ribu keping uang, sehingga jumlahnya lima ratus ribu keping uang setiap hari; ia terus-menerus melaksanakan Lima Sila; dan menjalani hari hari Uposatha65; ia menganjurkan rakyat dalam berderma dan melakukan perbuatan bajik; ia menunjukkan jalan ke surga, dan membuat mereka takut dengan rasa takut akan kematian, dan membabarkan Dhamma. Mereka mematuhi tegurannya, memberikan derma dan melakukan kebajikan, meninggal satu demi satu dan lahir di alam dewa: alam itu menjadi penuh, dan neraka tampak kosong. Kemudian di Surga Tiga Puluh Tiga Dewa, persamuhan dewa berkumpul di balairung surgawi Sudhamma, mereka berseru kencang, ’’Terpujilah guru kami, Raja Nimi! Karena perbuatannya, dengan pengetahuan seorang Buddha, kami mendapatkan sukacita surgawi tak terhingga ini!” Demikian mereka menyanyikan pujian akan Bodhisatta. Bahkan di alam manusia, suara pujian ini menyebar, seperti minyak menyebar di permukaan lautan yang dalam.

Guru menjelaskan hal ini kepada persamuhan bhikkhu dengan syair berikut ini:

“Menakjubkan di dunia bagaimana orang-orang bajik muncul.”

Pada masa Raja Nimi yang bajik, yang pantas, dan bijaksana.

Penguasa Videha, penakluk musuh-musuhnya, memberikan derma;

Dan ketika ia memberikan amal, pemikiran ini muncul dalam dirinya:

“Yang manakah yang lebih membuahkan hasil, kehidupan suci atau berderma? Siapakah yang kiranya tahu66?’”

Pada saat itu, singgasana Sakka menjadi panas. Sakka merenungi alasannya, melihat raja tengah merenung. [98] “Aku akan memecahkan pertanyaan ini,” ia berkata; dan dengan cepat, ia berpindah, membuat kilatan cahaya di istana, memasuki kamar, dan berdiri di sana dengan bergelimang cahaya; dan atas permintaan raja, ia menjelaskan jawabannya.

Untuk menjelaskan ini, Guru berkata:

“Penguasa para dewa yang perkasa, ia yang memiliki seribu mata,

Mencerap pemikiran raja: di hadapan cahayanya

kegelapan terusir pergi.

Nimi Agung berucap kepada Vasava, dan seluruh tubuhnya merinding:

“Siapakah Anda? Pastilah Anda Ashura atau Sakka sendiri:

Karena belum pernah saya menyaksikan atau mendengar kemegahan seperti yang saya lihat kini.’

Kemudian Vasava berkata kepada Nimi, mengetahui bahwa tubuhnya merinding:

“Sayalah, Sakka, raja para dewa; untuk mengunjungi Anda, saya datang kemari;

Tanyakan apa yang Anda hendaki, wahai Raja, jangan biarkan tubuh Anda merinding ketakutan.’

Kemudian Nimi berkata kepada Vasava, undangan ini diutarakan:

“Penguasa paling perkasa di antara semua yang bernapas, jawablah pertanyaan ini untuk saya:

Hidup suci, atau memberi amal, manakah yang lebih membuahkan?’

Kemudian Vasava bicara kepada Nimi, memecahkan pertanyaannya,

Dan mengatakan bahwa buah kehidupan suci yang tidak diketahuinya:

“la yang terlahir sebagai khattiya, yang menjalani kehidupan suci dalam taraf ketiga:

Sesosok dewa, pertengahannya; dan yang pertama membawa kemurnian sempurna.’

Tidaklah mudah keadaan ini dimenangkan dengan amal apa pun,

Buah ini para petapa, yang telah meninggalkan keduniawian, peroleh lewat pertapaan.”

[99] Dengan syair-syair ini ia menggambarkan manfaat besar kehidupan suci, kemudian melafalkan yang lainnya, nama-nama raja yang pada masa lalu tidak mampu mencapai di luar lingkup indriawi dengan melakukan derma besar:

“Dudipa, Sagara, Sela, Mucalinda, Bhagirasa,

UsTnara dan Atthaka, Assaka, dan Puthujjana,

Ya, para raja dan brahmana, khattiya, pemimpin desa, dan banyak lagi,

Semuanya karena pemberian mereka, tidak ada yang melampaui alam Peta.”

Setelah menjelaskan betapa lebih besarnya buah kehidupan suci ketimbang memberi derma, ia menjabarkan para petapa yang dengan kehidupan suci melewati alam Peta dan lahir di alam brahma, dan mengatakan:

“Para petapa suci yang telah meninggalkan keduniawian, Tujuh orang bijaksana, melampaui alam nafsu: Yamahanu,

Somayaga, Manojava, Samudda,

Magha, dan Bharata, dan Kalikara:

Empat lainnya: Kassapa, Angirasa,

Akitti, Kisavaccha, selain ini.”

[100] Sampai sejauh itu, ia menjelaskan tradisi buah agung dari kehidupan suci; namun ia melanjutkan, menyatakan apa yang telah ia saksikan sendiri:

“Sungai STda di utara, tidak mampu diarungi67, dalam:

Di sekitarnya, seperti nyala buluh, lereng gunung keemasan berkilau,

Sungai dan bukitnya pun dipenuhi tanaman merambat dan tumbuhan beraroma.

Di sana sepuluh ribu petapa pernah pada suatu ketika berdiam.

Mulia diri saya, yang menjaga ikrar cinta kasih, pengendalian diri,

Berderma: penyepian lalu menyokong68 masing-masing batin yang teguh.

Kasta atau tanpa kasta, saya akan menyokong yang membutuhkan dengan bajik:

Karena setiap manusia fana terikat oleh perbuatan dan aksinya.

Jika terpisah dari kebenaran, semua kasta pasti akan tenggelam ke neraka:

Semua kasta murni jika mereka benar dan bertindak patut.”

[102] Setelah ini, ia mengatakan: “Namun, raja agung, meski kehidupan suci jauh lebih memhuahkan ketimbang berderma, namun keduanya ini adalah buah pikir orang-orang besar: perhatikanlah keduanya, berikanlah derma dan ikutilah kebajikan.” Setelah nasihat ini, Sakka kembali ke tempatnya sendiri.

Kemudian perkumpulan para dewa berkata: “Baginda, kami belum melihat Anda akhir-akhir ini; ke mana Anda telah pergi?” “Tuan-tuan, keraguan timbul dalam batin Raja Nimi di Mithila, saya pergi menyelesaikan pertanyaan itu, dan membawanya melampaui keraguan.” Dan kemudian Sakka menceritakan peristiwa itu dengan syair:

“Dengarkanlah saya, Tuan-tuan, dan semua yang berkumpul di sini:

Pria yang bajik berbeda dalam kasta dan kualitas.

Ada Raja Nimi, yang bijak dan bajik, yang memilih sifat lebih baik,

Raja Videha, memberikan amal besar, penakluk lawan-lawannya;

Dan seiring amal besar yang diberikannya, keraguan ini ternyata muncul:

’Mana yang lebih membuahkan hasil, kehidupan suci atau memberikan amal? Siapakah yang tahu?’”

[103] Demikian ia bicara, tanpa menghilangkan satu kata pun, memberitahukan mengenai sifat raja. Ini membuat para dewa hendak melihat raja; dan mereka berkata, “Baginda, Raja Nimi adalah guru kami; dengan mengikuti bimbingannya, dengan cara-caranya, kami meraih sukacita menjadi dewa. Kami ingin menemuinya, mohon datangkanlah ia kemari, Baginda, dan tunjukkan dirinya kepada kami!” Sakka menyetujui dan memanggil Matali: “Sahabat Matali, persiapkan kereta kencanaku, pergilah ke Mithila, bawa Raja Nimi dalam kereta surgawi kemari.” Matali mematuhi dan berangkat. Ketika Sakka bicara dengan para dewa, memberikan perintahnya ke Matali, dan mengirimkan kereta kudanya, satu bulan telah berlalu menurut penanggalan manusia. Pada saat itu, adalah hari suci bulan purnama: Raja Nimi membuka jendela sebelah timur. Ia sedang duduk ketika cakram rembulan mengangkasa, dan kereta ini muncul di timur. Orang-orang yang baru selesai menyantap makanan malam, duduk di pintu mereka saling mengobrol dengan nyaman. “Mengapa ada dua bulan hari ini?” seru mereka. Ketika mereka bergunjing, kereta itu menjadi jelas terlihat dalam pandangan mereka. “Bukan, itu bukan bulan,” kata mereka, “namun sebuah kereta!” Lalu akhirnya muncul rombongan Matali yaitu seribu ekor kuda berketurunan murni, dan kereta Sakka, dan mereka terheran-heran kepada siapakah kereta itu datang? “Ah, raja mereka bajik; pasti untuknya kereta surgawi Sakka pasti dikirimkan; Sakka pasti hendak menemui Raja,” Maka dalam kegembiraan mereka berseru:

“Keajaiban di dunia, yang membuat kita bergeletar gembira:

Kepada Videha nan jaya terlihat datangnya kereta surgawi!”

Ketika orang-orang berbicara satu sama lain, secepat angin datang Matali, yang memutar kereta perang, dan menghentikannya di ambang jendela, dan memanggil raja untuk masuk ke dalam kereta.

[104] Menjelaskan ini, Guru mengatakan:

“Matali kusir yang perkasa

Dari surga, kini memanggil Raja Videha

Yang tinggal di Mithila: “Marilah, raja mulia,

Penguasa dunia, naikilah kereta ini:

Indra dan semua dewa Tiga Puluh Tiga,

Hendak melihatmu, tengah menunggui Anda di Balairung Sudhamma.’”

Raja berpikir, “Aku akan melihat kediaman para dewa, yang tak pernah saya lihat sebelumnya; dan aku akan menunjukkan kebaikan kepada Matali.” maka ia berkata kepada selir dan rakyatnya, dan berkata, ’’Sebentar lagi aku akan kembali: kalian harus waspada, lakukan kebajikan dan berderma.” Kemudian ia masuk ke dalam kereta.

Guru mengatakan untuk menjelaskan hal ini69:

“Kemudian dengan segera, Raja Videha bangkit, Dan pergi menuju kereta dan menaikinya

Ketika ia berada di dalamnya, Matali kemudian berkata: ’Lewat jalan apakah saya harus membawamu, raja mulia? Tempat para jahat berdiam, atau tempat para bajik berdiam?’”

Mendengar ini raja berpikir, “Aku belum pernah melihat tempat-tempat ini sebelumnya, dan aku ingin melihat keduanya.” Ia menjawab:

“Matali, kusir surgawi, kedua tempat ini hendak saya lihat:

Baik tempat orang bajik berdiam, dan tempat orang jahat.” Matali merenung, “Kita tidak bisa melihat keduanya sekaligus; aku akan menanyainya,” dan ia menggubah sebuah syair:

“Yang mana dahulu, penguasa agung, raja mulia, tempat mana dahulu yang hendak engkau lihat,

Tempat orang bajik berdiam atau tempat orang jahat?”

[105] Kemudian raja, berpikir bahwa ia akan pergi ke surga juga, berpikir bahwa ia lebih baik memilih untuk melihat neraka70, ia melafalkan syair berikut ini:

“Saya hendak melihat tempat manusia jahat: biarkan saya pergi ke neraka;

Tempat mereka yang pernah melakukan perbuatan keji dan tempat yang jahat berdiam.”

Kemudian Matali menunjukkan kepadanya VetaranT71, sungai neraka.

Untuk menjelaskan ini, Guru berkata:

“Matali menunjukkan Vetaranl kepada raja,

Sungai berbau sengit, penuh belerang pembakar,

Panas, ditutupi api yang menyala.”

Raja merasa takut ketika ia melihat makhluk-makhluk tersiksa demikian berat di Vetaranl, dan bertanya kepada Matali perbuatan jahat apa yang telah mereka lakukan. Matali memberitahunya.

Ini dijelaskan oleh Guru:

“Kemudian Nimi, ketika ia melihat orang-orang jatuh

Ke dalam arus sungai dalam ini, bertanya kepada Matali

[106] “Ketakutan mendatangi saya ketika saya melihatnya, kusir:

Beritahu saya, apakah salah yang dilakukan makhluk fana ini

Yang terlempar ke sungai?’ Matali menjawab, Menjelaskan bagaimana perbuatan jahat matang dan membnahkan hasil:

“Siapa pun di dunia kehidupan yang perkasa,

Namun melukai yang lemah, menindas mereka, melakukan kejahatan,

Makhluk keji ini mendapatkan hasil buruk, dan mereka

dilemparkan ke dalam arus VetaranT.’”

Demikian Matali menjawab pertanyaannya. Dan ketika raja telah melihat neraka Vetaranl, Matali membuat tempat itu menghilang, dan mengemudi kereta ke depan, menunjukkan kepada raja tempat pelaku kejahatan disobek-sobek oleh anjing dan hewan lainnya. Ia menjawab pertanyaan raja sebagai berikut.

Ini dijelaskan Guru:

“’Anjing hitam dan burung nasar berbintik-bintik, kawanan gagak,

Paling mengerikan, memangsa mereka. Ketika saya melihatnya,

Rasa takut mencengkeram saya. Beritahu saya Matali,

Kejahatan apa yang telah orang-orang ini lakukan, wahai kusir,

Siapakah yang dimangsa burung gagak?’ Matali menjawab,

Menjelaskan bagaimana perbuatan jahat matang dan membuahkan hasil:

“Mereka ini adalah orang-orang pemarah, egois, pelit, berlidah kasar

Yang melukai kepada para brahmana dan petapa;

Makhhik-makhhik keji ini mendapatkan akibat buruk, dan mereka

Adalah mangsa para gagak yang engkau lihat itu.’”

[107] Pertanyaan lainnya dijawab dengan cara yang sama.

“’Tubuh mereka semua menyala-nyala ketika mereka terbaring bersujud,

Dihantam oleh alu merah membara: ketika saya

melihatnya,

Rasa takut mencengkeram saya. Beritahu saya Matali,

Kejahatan apa yang telah orang-orang ini lakukan, wahai kusir,

Yang terbaring dipukuli alu merah membara?’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjelaskan bagaimana perbuatan jahat matang dan memhuahkan hasil:

“Yang ini dalam dunia kehidupan adalah orang-orang jahat,

Yang melukai dan menyiksa mereka yang tidak bersalah,

Baik pria dan wanita, karena mereka jahat.

Makhluk-makhluk keji ini mendapatkan akibat buruk, dan mereka

Kini terbaring dipukuli alu merah membara. ’

’Yang lainnya terbaring tersiksa dalam lubang penuh arang,

Berteriak-teriak, tubuh mereka terbakar; Ketika saya melihatnya,

[108]Rasa takut mencengkeram saya. Beritahu saya Matali,

Kejahatan apa yang telah orang-orang ini lakukan, wahai kusir,

Yang terbaring tersiksa dalam lubang menyala-nyala?

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjelaskan bagaimana perbuatan jahat matang dan membuahkan hasil:

“Ini adalah mereka yang di hadapan banyak orang bersaksi palsu dan menyangkal hutang;

Dan karena itu menghancurkan banyak orang, raja perkasa,

Makhlnk-makhlnk keji ini mendapatkan akibat buruk, dan mereka

Kini terbaring tersiksa dalam lubang penuh arang.’

’Menyala dan membara, semuanya hamparan api tunggal, Saya melihat kuali besi, sungguh besar dan raksasa:

Ketika saya melihatnya, rasa takut mendatangi saya. Beritahu saya Matali, kusir surgawi,

Kejahatan apa yang telah orang-orang ini lakukan, hingga di sini,

Mereka dilemparkan kepala lebih dahulu ke dalam kuali besi demikian besar?’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjelaskan bagaimana perbuatan jahat matang dan membuahkan hasil:

’Mereka yang melukai brahmana atau petapa,

Orang-orang jahat bersalah, dan petapa yang bajik, Makhluk-makhluk keji ini mendapatkan akibat buruk, dan mereka

Kini terjatuh ke dalam belanga besi.’

[109] ’Mereka menggantung leher mereka dan melemparkan mereka ke dalam,

Mengisi kuali penuh air mendidih!

Ketika saya melihatnya,

Rasa takut mencengkeram saya. Beritahu saya Matali, Kejahatan apa yang telah orang-orang ini lakukan, wahai kusir

Hingga dengan kepala mereka semuanya pecah, mereka terbaring?’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjelaskan bagaimana perbuatan jahat matang dan membuahkan hasil:

’Mereka adalah orang-orang jahat yang di dunia Menangkap burung, dan menghancurkan mereka, raja perkasa:

Dan karena menghancurkan makhluk lain, mereka Oleh perbuatan keji ini menghasilkan akibat buruk,

Dan mereka terbaring di sana, dengan leher mereka tergantung.’

’Di sana mengalir sungai dalam, dengan tepian dangkal, Mudah dilewati: pergi ke sana orang-orang,

Terbakar panas, dan minum: namun ketika mereka minum,

Airnya berubah menjadi sekam72: yang ketika saya lihat, Rasa takut mencengkeram saya. Beritahu saya Matali, Kejahatan apa yang telah dilakukan makhluk fana ini, Hingga ketika mereka minum, air berubah menjadi sekam? ’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjelaskan bagaimana perbuatan jahat matang dan membuahkan hasil:

’Orang-orang ini adalah mereka yang mencampur gandum yang bagus dengan sekam,

Dan menjualnya kepada pembeli, melakukan penipuan;

Karena itu kini terpanggang oleh panas, dan kering oleh dahaga,

Bahkan ketika mereka minum, air berubah menjadi sekam.’

’Dengan duri dan tombak dan ujung anak panah mereka ditembus

Orang-orang yang menjerit keras di kedua sisi:

Rasa takut mencengkeram saya. Beritahu saya Matali,

Kejahatan apa yang telah orang-orang ini lakukan, wahai kusir

Hingga mereka terbaring di sana dilubangi oleh tombak-tombak?’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjelaskan bagaimana perbuatan jahat matang dan membuahkan hasil:

’Orang-orang ini di dunia kehidupan adalah orang jahat

Yang mengambil apa yang bukan milik mereka, dan hidup darinya,

Kambing, domba, hewan ternak, banteng, gandum, harta, emas, perak:

Makhluk-makhluk keji ini mendapatkan akibat buruk, dan mereka

Kini terbaring di sana dilubangi oleh tombak-tombak.’

[Ill] ’Siapakah mereka yang saya lihat dipaku di leher mereka,

Beberapa dicacah berkeping-keping, yang lainnya disobek-sobek:

Rasa takut mencengkeram saya. Beritahu saya Matali, Kejahatan apa yang telah orang-orang ini lakukan,

Hingga mereka terbaring di sana dicabik-cabik menjadi kepingan kecil?’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjelaskan bagaimana perbuatan jahat matang dan membnahkan hasil:

’Nelayan dan penjagal hewan, pemburu celeng,

Pembantai hewan ternak, banteng, kambing, yang membantai

Dan menghampar mayat-mayat di rumah pejagalan, Makhluk-makhluk keji ini mendapatkan akibat buruk, dan mereka

Sekarang terbaring di sana dicabik-cabik menjadi kepingan kecil.’

“Di telaga sana kotoran dan tinja, berbau busuk,

Dengan bau menyengat kotor, tempat orang-orang kelaparan,

Memakan isi telaga itu! Ketika saya melihat ini,

Rasa takut mencengkeram saya. Beritahu saya Matali, Kejahatan apa yang telah orang-orang ini lakukan, wahai kusir

Hingga saya lihat mereka makan kotoran dan lumpur? Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjelaskan bagaimana perbuatan jahat matang dan memhuahkan hasil:

“Ini adalah orang-orang berniat jahat73, yang demi melukai Orang lain, hidup bersama mereka, dan melukai sahabat-sahabat mereka:

[112] Makhluk-makhluk keji ini mendapatkan akibat buruk, dan mereka kini

Orang-orang dungu yang malang, mereka makan lumpur dan kotoran. ’

“Di telaga sana penuh dengan darah, dan berbau amis, Dengan bau menyengat kotor, terpanggang oleh panas, Manusia meminum isi telaga! Ketika saya melihatnya, Rasa takut mencengkeram saya. Beritahu saya Matali, Kejahatan apa yang telah orang-orang ini lakukan, wahai kusir

Hingga mereka kini harus minum darah? ’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjelaskan bagaimana perbuatan jahat matang dan membuahkan hasil:

’Mereka yang telah membunuh ayah atau ibu,

Yang seharusnya mereka hormati; terbuanglah Makhluk-makhluk keji ini mendapatkan akibat buruk, dan mereka

Adalah orang-orang di sana yang minum darah.’

’Lidah yang terlihat itu, tertembus kait, seperti perisai Yang tertancap dengan seratus duri; dan mereka yang

[113] bergeliat melonjak-lonjak seperti ikan di darat,

Dan menjerit-jerit, memuntahkan air liur? Ketika melihatnya,

Rasa takut mencengkeram saya. Beritahu saya Matali, Kejahatan apa yang telah orang-orang ini lakukan, wahai kusir

Hingga harus menelan kait?’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjelaskan bagaimana perbuatan jahat matang dan memhuahkan hasil:

“Orang-orang ini adalah mereka yang di pasar Menawar dan membuat murah karena ketamakan untuk memperoleh keuntungan,

Telah mempraktikkan penipuan, dan berpikir bahwa perbuatan mereka tersembunyi,

Seperti orang yang mengail ikan: namun untuk penipuan Tidak ada keamanan, dan dikuntit semua perbuatannya: Makhhik-makhluk keji ini mendapatkan akibat buruk, dan mereka

Sekarang terbaring di sana menelan kait. ’

’Di sana perempuan, bungkuk dan hancur, mengulurkan tangan mereka

Dan meratap, menyedihkan, diliputi noda-noda darah, Seperti hewan ternak sekarat, berdiri dengan pinggang terbenam

Terkubur tanah, sedangkan tubuh bagian atasnya menyala! Rasa takut mencengkeram saya. Beritahu saya Matali, Kejahatan apa yang telah perempuan ini lakukan,

Hingga kini mereka semua berdiri terbenam dalam tanah, Setinggi pinggang, sedangkan tubuh bagian atas menyala seperti segumpal api?’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjelaskan bagaimana perbuatan jahat matang dan membuahkan hasil:

“Mereka memiliki status tinggi ketika lahir di dunia,

Menjalani hidup dengan tidak bersih, melakukan perbuatan jahat,

Adalah pengkhianat, meninggalkan suami mereka, dan melakukan

Hal-hal lainnya untuk memuaskan nafsu mereka;

Mereka menghabiskan hidup mereka dalam kelalaian; karena itu kini

Mereka berdiri menyala-nyala, dengan pinggang ke bawah terbenam dalam tanah.’

’Mengapa mereka mencengkeram tubuh Anda dengan kaki mereka

Dan melemparkan mereka kepala lebih dahulu ke dalam Naraka74?

Rasa takut mencengkeram saya. Beritahu saya Matali,

[115] Kejahatan apa yang telah orang-orang ini lakukan,

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjelaskan bagaimana perbuatan jahat matang dan membuahkan hasil:

“Di dunia orang-orang ini melakukan kejahatan, merayu

Istri orang lain, mencuri milik orang lain yang paling berharga.

Kini mereka dilemparkan kepala lebih dahulu ke Naraka.

Mereka menderita kesengsaraan selama bertahun-tahun tiada terhitung

Di neraka: tidak ada keselamatan bagi pembuat kejahatan,

Alih-alih ia selalu diikuti perbuatannya sendiri. Makhluk-makhluk keji ini mendapatkan akibat buruk, dan mereka

Kini dilempar kepala lebih dahulu ke Naraka.’”

Dengan kata-kata ini, Matali sang kusir membuat neraka ini pun lenyap, dan mengemudikan kereta terus melaju, menunjukkannya neraka siksaan bagi para pengikut jalan sesat. Atas permintaan raja, ia menjelaskannya.

“Banyak dan berbagai macam musabab telah saya lihat Namun yang paling mengerikan di antara neraka-neraka ini: kini saya lihat

Rasa takut mencengkeram saya. Beritahu saya Matali, Kejahatan apa yang telah orang-orang ini lakukan, Mengapa mereka harus menderita rasa sakit berlebihan ini,

Begitu tajam, begitu kejam, begitu tak tertanggungkan?’ Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjelaskan bagaimana perbuatan jahat matang dan membuahkan hasil:

’Mereka yang di dunia adalah penganut jalan sesat yang jahat,

Yang menggantungkan keyakinan mereka dalam khayalan palsu,

Mengalihyakinkan orang lain ke dalam kesesatan mereka, [116] Oleh kesesatan mereka mendapatkan akibat buruk, Hingga karenanya harus menanggung derita berlebihan ini.

Begitu tajam, begitu kejam, begitu tak tertanggungkan.’”

Kini di surga, para dewa tengah duduk di Balairung Sudhamma, melihat kedatangan raja. “Matali telah lama pergi,” pikir Sakka: dan ia mencerap alasannya, maka ia berkata: “Matali pergi berkeliling sebagai pemandu,

menunjukkan berbagai neraka yang berbeda kepada raja dan menceritakannya kesalahan apa yang membawa ke setiap neraka. Maka ia memanggil sesosok dewa muda, yang sangat kencang, ia berkata kepadanya: ’’Beritahu Matali untuk segera membawa raja kemari. Ia menghabiskan usia Raja Nimi; ia sebaiknya tidak mengelilingi semua neraka.” Dengan cepat dewa muda itu pergi dan menyampaikan pesan Sakka. Ketika Matali mendengarnya, ia berkata, “Kita harus bergegas;” kemudian menunjukkan kepada raja dengan satu kilatan semua neraka besar di empat penjuru, ia melafalkan syair:

“Kini, raja perkasa, Anda telah melihat tempat Para pelaku kejahatan, tempat tujuan orang-orang keji,

Dan tempat orang jahat pergi; sekarang, raja bijaksana, Mari kita bergegas ke tempat raja surga.”

Setelah mengatakan demikian, ia mengalihkan keretanya ke arah surga. Ketika raja pergi menuju surga ia melihat [117] di udara sebuah wisma Dewi BiranI, dengan menaranya terbuat dari batu permata dan emas, dihiasi dengan demikian megah, memiliki taman dan danau yang diliputi teratai, dan dikelilingi pohon yang pantas dengan tempat itu; dan di sana dewi ini duduk di atas dipan dalam sebuah rumah beratap miring menghadap ke depan, dan dilayani seribu peri, sambil melihat ke luar melalui jendela yang terbuka. Ia menanyai Matali siapa dirinya, dan Matali menjelaskan kepadanya.

“’Lihatlah wisma di sana dengan lima puncak menara:

Di sana, dihiasi kalung bunga, berbaring di atas dipan Perempuan yang paling berkuasa, yang memiliki Semua jenis keagungan dan kekuatan menakjubkan. Sukacita mendatangiku ketika saya melihatnya, kusir kereta:

Namun beritahu saya, Matali, apakah perbuatan bajiknya, Hingga ia bahagia dalam wisma surgawi ini.’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjelaskan bagaimana kebajikan matang dan membuahkan hasil:

‘Pernahkah engkau mendengar di dunia mengenai Blranl? Budak yang lahir di keluarga brahmana, yang dahulu menerima

Tamu pada saat yang tepat, menyambutnya Seperti ibu menyambut putranya sendiri; dan karena itu kini,

Karena dermawan dan lurus, ia hidup bahagia dalam wisma ini.’”

[118] Dengan kata-kata ini, Matali melajukan kereta dan menunjukkan kepada raja tujuh wisma emas Dewa Sonadinna. Raja, ketika melihat ini dan keagungan dewa ini, meminta penjelasan, yang dijawab oleh Matali.

“’Ada tujuh wisma, bersinar terang dan cerah,

Di sana berdiam makhluk perkasa, berpakaian penuh hiasan,

Yang bermukim di sana dengan istri-istrinya.

Sukacita menggerakkan hati saya ketika melihatnya: Beritahu saya, Matali,

Apakah kebajikan yang makhluk ini lakukan, hingga ia Berdiam bahagia dalam wisma surgawi ini? ’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menyatakan bagaimana kebajikan matang dan memhuahkan hasil:

“Ini dahulu adalah Sonadinna, orang yang memberikan

Anugerah kerajaan, dan kepada para petapa mendirikan

Tujuh tempat pertapaan: semua kebutuhan yang mereka inginkan

la sediakan dengan setia. Makanan ia bawa,

Pembaringan untuk istirahat, baju untuk dikenakan, dan penerangan,

Bercukup hati bersama orang-orang itu menjalani kehidupan benar,

Ia mempraktikkan hari Uposatha, dan setiap dua minggu

Pada hari ke delapan, empat belas, dan lima belas;

Dengan dermawan, terkendali, ia mempraktikkan aturan kehidupan suci75,

Sehingga kini berdiam dalam wisma kebahagiaan ini.’”

[119] Demikianlah ia menjabarkan perbuatan Sonadinna; kemudian mengemudikan keretanya terus, ia menunjukkan wisma kristal: di ketinggian dua puluh lima yojana, wisma itu memiliki ratusan pilar yang terbuat dari tujuh batu berharga, ratusan puncak lancip. Wisma itu memiliki tingkap-tingkap dan genta kecil, panji emas dan perak yang berkibar, di sampingnya ada taman dan hutan penuh bunga-bunga berwarna cerah, dengan danau indah dipenuhi lili air, banyak peri cerdas yang bernyanyi dan memainkan musik. Kemudian raja, setelah melihat ini bertanya apa perbuatan yang dilakukan para peri ini, dan Matali memberitahunya.

“’Di sana ada wisma yang terbuat dari kristal, bersinar terang,

Dengan puncak menara menjulang di ketinggian,

Dengan banyak makanan dan minuman tersedia, serta banyak

Perempuan indah yang piawai dalam nyanyian dan tarian! Sukacita mencengkeram diriku: beritahu saya, Matali, Perbuatan bajik apa yang dilakukan perempuan ini, hingga kini di surga

Mereka berdiam di istana sukacita ini?’

Kemudian Matali sang kusir menjawab, menjelaskan bagaimana perbuatan bajik matang dan menghasilkan buah:

‘Para perempuan ini selalu melaksanakan prinsip moral yang suci,

Perumah-tangga yang setia, yang menjalani hari-hari suci, Dermawan, terkendali, dan waspada, hatinya damai,

Kini bahagia dalam wisma yang Anda telah lihat..’”

Ia melajukan keretanya, menunjukkan wisma dari batu permata: wisma itu berdiri di tempat yang indah, agung, seperti gunung permata, bersinar terang, dipenuhi para dewa yang bermain dan menyanyikan musik surgawi. Melihat ini, raja bertanya apakah perbuatan dewa-dewa ini, dan Matali menjawab.

[120] “’Wisma di sana, terbuat dari batu permata, bersinar terang,

Simetris, pantas, elok dilihat,

tempat melodi paling mulia terdengar,

lagu, tarian, gendang besar dan kecil bergaung:

Saya bersumpah, saya tidak pernah melihat pemandangan begitu indah,

Ataupun suara demikian manis!

Sukacita mencengkeram diri saya: beritahu saya, Matali, Apakah perbuatan bajik yang makhluk ini lakukan, hingga kini saya melihat

Mereka berdiam bahagia dalam wisma sukacita surgawi ini?’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjabarkan bagaimana perbuatan bajik matang dan menghasilkan buah:

’Mereka adalah perumah-tangga laki-laki di dunia:

Yang menyediakan taman dan sumur, atau menimba air Dalam bak sumur, dan memberi makan suciwan yang damai,

Memberikan baju, makanan, minuman, dan penutup pembaringan, semua kebutuhan,

Bercukup hati bersama orang-orang ini menjalani kehidupan lurus,

Yang menjalani hari Uposatha, dan setiap dua minggu Tanggal delapan, empat belas, dan lima belas:

Dermawan, terkendali, mereka menjalani disiplin moral suci,

Dan kini berdiam dalam wisma kebahagiaan ini.’”

Setelah menjelaskan perbuatan orang-orang ini, Matali melajukan kereta dan menunjukkan kepada raja wisma kristal lainnya: dengan begitu banyak menara lancip, dan semua jenis bunga di sekelilingnya, juga pepohonan indah, bergema dengan suara kicauan semua jenis burung, yang dialiri sungai berair bening, [121] dan menjadi tempat human orang luhur yang dikelilingi rombongan peri. Melihat ini, raja bertanya apa perbuatannya; dan Matali memberitahunya.

“’Di sana ada wisma dari kristal, bersinar terang,

Menara lancipnya menjulang di ketinggian,

Dengan makanan dan minuman berlimpah, dan kawanan Perempuan indah yang piawai dalam tarian dan nyanyian, Dan sungai, yang dipenuhi banyak bunga dan pohon, Sukacita merengkuh saya: beritahu saya Matali,

Apakah kebajikan yang makhluk ini lakukan semasa hidup, hingga ia

Bersukacita dalam wisma surgawi ini? ’

Kemudian Matali sang kusir menjawab, menjabarkan bagaimana perbuatan bajik matang dan membuahkan hasil:

‘Dahulu ia adalah perumah-tangga di Kimbila,

Dermawan, ia memberikan taman dan sumur, dan dengan penuh keyakinan

Menimba air, dan memberi makan para suciwan yang damai,

memberikan baju, makanan, minuman, dan penutup pembaringan, semua kebutuhan,

Bercukup hati bersama orang-orang ini menjalani kehidupan lurus,

Ia menjalani hari Uposatha, dan setiap dua minggu, Tanggal delapan, empat belas, dan lima belas:

Dermawan, terkendali, mereka menjalani disiplin moral suci,

Dan kini berdiam dalam wisma kebahagiaan ini.’”

Demikian ia menjabarkan perbuatan orang ini, dan melajukan keretanya. Kemudian ia menunjukkan wisma kristal lain: yang ini bahkan lebih banyak lagi ditumbuhi segala macam buah, bunga, dan rerimbunan pohon ketimbang wisma sebelumnya. Melihat ini, raja bertanya apa perbuatan orang yang demikian mujur ini, dan Matali memberitahunya. “’Di sana ada wisma dari kristal, bersinar terang,

Menara lancipnya menjulang di ketinggian,

Dengan makanan dan minuman berlimpah, dan kawanan Perempuan indah yang piawai dalam tarian dan nyanyian, Dan sungai, yang dipenuhi banyak bunga dan pohon, Pohon kerajaan dan gajah, mangga, dan sal,

Pohon jambu manis, tindhook, piyal,

Dan pohon penghasil buah di mana-mana,

Sukacita meliputi saya: beritahu saya, Matali,

Apakah kebajikan yang makhluk ini lakukan semasa hidup, hingga ia

Bersukacita dalam wisma surgawi ini?’

Kemudian Matali sang kusir menjawab, menjabarkan bagaimana perbuatan bajik matang dan memhuahkan hasil:

‘Dahulu ia adalah perumah-tangga di Mithila,

Dermawan, ia memberikan taman dan sumur, dan dengan penuh keyakinan

Menimba air, dan memberi makan para suciwan yang damai,

memberikan baju, makanan, minuman, dan penutup pembaringan, semua kebutuhan,

Bercukup hati bersama orang-orang ini menjalani kehidupan lurus,

Ia menjalani hari Uposatha, dan setiap dua minggu, Tanggal delapan, empat belas, dan lima belas:

Dermawan, terkendali, mereka menjalani disiplin moral suci,

Dan kini berdiam dalam wisma kebahagiaan ini.’”

Demikian ia pun menjabarkan perbuatan orang ini, dan melajukan keretanya. Kemudian ia menunjukkan wisma lainnya dari batu permata, seperti yang pertama, dan atas permintaan raja ia memberitahunya perbuatan dewa yang berdiam bahagia di sana.

“’Wisma di sana, terbuat dari batu permata, bersinar terang,

Simetris, pantas, elok dilihat,

tempat melodi paling mulia terdengar,

lagu, tarian, gendan besar dan kecil bergaung:

Saya bersumpah, saya tidak pernah melihat pemandangan begitu indah,

Ataupun suara demikian manis!

[123] Sukacita mencengkeram diri saya: beritahu saya, Matali,

Apakah perbuatan bajik yang makhluk ini lakukan, hingga kini saya melihat

Mereka berdiam bahagia dalam wisma sukacita surgawi ini?’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjabarkan bagaimana perbuatan bajik matang dan menghasilkan buah:

‘Dahulu ia adalah perumah-tangga di Benares,

Dermawan, ia memberikan taman dan sumur, dan dengan penuh keyakinan

Menimba air, dan memberi makan para suciwan yang damai,

memberikan baju, makanan, minuman, dan penutup pembaringan, semua kebutuhan,

Bercukup hati bersama orang-orang ini menjalani kehidupan lurus,

la menjalani hari Uposatha, dan setiap dua minggu, Tanggal delapan, empat belas, dan lima belas:

Dermawan, terkendali, mereka menjalani disiplin moral suci,

Dan kini berdiam dalam wisma kebahagiaan ini.’”

Ia melajukan keretanya lagi, dan menunjukkan wisma dari emas, seperti matahari yang menyala perkasa, dan atas permintaan raja ia memberitahukan perbuatan dewa yang berdiam di sana.

“’Lihat di sana wisma yang terbuat dari kilau nyala,

Merah seperti mentari ketika hendak mengangkasa makin tinggi!

Sukacita mencengkeram diri saya: beritahu saya, Matali, Apakah perbuatan bajik yang makhluk ini lakukan, hingga ia

Bercukacita dalam wisma surgawi ini?’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjabarkan bagaimana perbuatan bajik matang dan menghasilkan buah:

‘Dahulu ia adalah perumah-tangga di Savatthi,

Dermawan, ia memberikan taman dan sumur, dan dengan penuh keyakinan

Menimba air, dan memberi makan para suciwan yang damai,

memberikan baju, makanan, minuman, dan penutup pembaringan, semua kebutuhan,

Bercukup hati bersama orang-orang ini menjalani kehidupan lurus,

la menjalani hari Uposatha, dan setiap dua minggu, Tanggal delapan, empat belas, dan lima belas:

Dermawan, terkendali, mereka menjalani disiplin moral suci,

Dan kini berdiam dalam wisma kebahagiaan ini.’”

[124] Ketika ia menjelaskan delapan wisma ini, Sakka, raja para dewa, berpikir bahwa Matali lama sekali datang, ia mengirim utusan dewa yang tangkas lainnya. Matali, mendengar pesan ini, mengetahui bahwa tidak boleh menunda-nunda lagi; sehingga dalam satu kilatan ia menunjukkan banyak wisma, dan menjelaskan kepada raja apa perbuatan mereka yang tinggal di sana.

“’Lihatlah banyak wisma menakjubkan di angkasa,

Seperti di gundukan aw an petir berkilat!

Sukacita mencengkeram diri saya: beritahu saya, Matali,

Apakah perbuatan bajik yang makhluk ini lakukan, hingga kini saya melihat

Mereka berdiam bahagia dalam wisma sukacita surgawi ini?’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjabarkan bagaimana perbuatan bajik matang dan menghasilkan buah:

“Menjalani kehidupan bajik, berpengetahuan bajik, penuh keyakinan,

Mereka menjalani seperti yang diajarkan Guru;

Hidup seperti yang dianjurkan Buddha maha bijaksana

Mereka sampai ke kediaman yang engkau kini saksikan.””

Setelah menunjukkan kepadanya wisma-wisma di angkasa, Matali beranjak menemui Sakka dengan kata-kata ini:

“Anda telah melihat tempat-tempat bajik dan buruk di angkasa;

Sekarang marilah kini berangkat menuju tempat raja para dewa.”

[125] Dengan kata-kata ini ia melanjutkan perjalanan, dan menunjukkan raja tujuh bukit yang membentuk cincin di sekitar Gunung Sineru; untuk menjelaskan bagaimana raja bertanya kepada Matali ketika melihat hal ini, Guru berkata:

“Ketika raja bepergian dalam kereta surgawi

Ditarik oleh seribu ekor kuda, ia melihat puncak-puncak gunung di kejauhan

Dalam samudra Sida, dan ia bertanya, ’Beritahu saya apakah bukit-bukit itu.’”

Mendengar pertanyaan Nimi ini, Dewa Matali menjawab:

“Bukit-bukit perkasa Sudassara, KaravTka, Isadhara, Yugandhara, Nemindhara, Vinataka, Assakanna. Bukit-bukit ini, dalam urutannya, ada dalam Sldantara, Yang menjulang tinggi di udara bisa Anda lihat, Raja perkasa.”

Kemudian ia menunjukkan Surga Empat Raja Agung, dan melajukan kereta terus hingga ia bisa menunjukkan patung Indra yang berdiri di sekitar gerbang Cittakuta yang membawa menuju Surga Tiga Puluh Tiga Dewa. Melihat pemandangan ini, raja bertanya, dan Matali menjawab.

“’Tempat ini begitu indah, menakjubkan hingga ke rincinya, penuh hiasan,

Dikelilingi patung-patung Indra, seakan Dikawal oleh harimau [126], ketika say a melihat pemandangan ini,

Sukacita mendatangi saya: beritahu saya, Matali,

Apakah nama tempat yang saya lihat ini?”

Kemudian Matali sang kusir,

Menjabarkan bagaimana perbuatan bajik matang dan menghasilkan buah:

’Tempat yang engkau lihat ini adalah Cittakuta,

Pintu masuk ke tempat penguasa surga,

Pintu menuju Gunung Indah:

Berhias halus, rinci, dan dikelilingi Patung-patung Indra, seperti dijaga harimau.

Masuklah, raja bijak! Masuklah tempat tak bercela ini.’”

Dengan kata-kata ini Matali membawa raja ke dalam; sehingga dikatakan,

“Bepergian dalam kereta surgawi, Ditarik seribu ekor kuda, raja perkasa Melihat tempat semua dewa berkumpul

Dan ketika ia sampai, berdiri bergeming di kereta, ia melihat tempat para dewa berkumpul dalam Balairung Sudhamma, dan bertanya kepada Matali, yang menjawab.

“’Seperti langit serba biru pada musim gugur, demikianlah terlihat wisma bertatahkan batu permata itu. Sukacita mendatangi saya: beritahu saya, Matali,

Apa wisma yang kini saya lihat? ’

Kemudian Matali sang kusir menjawab,

Menjelaskan bagaimana perbuatan bajik matang dan membuahkan hasil:

[127] “Ini adalah Sudhamma, tempat para dewa berkumpul,

disokong oleh pilar-pilar indah, dibangun dengan baik, bersisi delapan, terbuat dari permata dan batu berharga langka,

tempat berdiam Tiga Puluh Tiga Dewa, dengan pemimpin mereka,

Raja Indra, yang memikirkan kebahagiaan

Para dewa dan manusia: masuklah tempat indah ini,

Wahai Raja perkasa, ke tempat para dewa berdiam!

Para dewa tengah duduk menunggu kedatangan raja; dan ketika mereka mendengar raja telah tiba, mereka pergi menyambutnya dengan bunga dan wewangian surgawi sampai sejauh gerbang agung Cittakuta; dan mempersembahkannya dengan bunga dan wewangian yang mereka bawa dari Balairung Sudhamma. Raja turun dari kereta, masuk ke balairung para dewa, dan para dewa menawarkannya tempat duduk seperti Sakka, dan semua kemewahan.

Menjelaskan ini, Guru berkata

“Para dewa melihat raja datang: dan kemudian,

menyambut tamu, mereka berseru, ’Selamat datang, Raja perkasa, yang kami begitu gembira untuk temui! Wahai Raja! Di samping raja dewa kami mohon Anda sudi duduk.’

Dan Sakka menyambut Videha, Raja Mithila,

Ya, Vasava menawarkannya semua sukacita dan memintanya duduk.

’Di antara semua penguasa dunia, saya menyambut Anda ke tanah kami:

Berdiamlah dengan para dewa, wahai Raja! Yang memiliki semua keinginan terpenuhi,

Nikmatilah kenikmatan, tempat berdiam Tiga Puluh Tiga Dewa.’”

Kemudian Sakka menawarkannya kenikmatan surgawi; dan raja menampiknya dengan menjawab76 77:

“Sama seperti kereta atau ketika benda diberikan atas kebutuhan,

Demikian juga dengan menikmati kebahagiaan yang diberikan orang lain.

[128] Saya tidak menginginkan berkah yang diberikan orang lain,

Kebajikan saya adalah milik dan hanya milik saya sendiri ketika saya berdiri dengan perbuatan saya.

Saya akan pergi dan melakukan banyak kebajikan kepada manusia, berderma di seluruh negeri,

Akan mengikuti keluhuran, melatih pengendalian diri: la yang melakukan demikian adalah bahagia, dan tidak takut akan penyesalan yang ada.”

Demikian Bodhisatta memberikan pembabaran kepada para dewa dengan kata-kata yang indah; dan membabarkan demikian, ia berdiam tujuh hari menurut penanggalan manusia, dan memberikan kebahagiaan kepada kumpulan para dewa. Dan berdiri di tengah-tengah para dewa, ia menjabarkan kebajikan Matali:

“Matali sang kusir memiliki sifat paling setia,

Ia menunjukkan kepada saya dengan jelas, tempat orang bajik dan buruk berdiam.”

Kemudian raja mohon pamit kepada Sakka, mengatakan bahwa ia hendak kembali ke dunia manusia. Kemudian Sakka berkata, “Sahabat Matali, bawa Raja Nimi segera ke Mithila.” Matali menyiapkan kereta; raja bertukar salam dengan perkumpulan para dewa, meninggalkan mereka, dan menaiki kereta. Matali mengemudikan kereta ke arah timur, menuju Mithila. Kemudian rakyat banyak, melihat kereta, bergembira mengetahui raja mereka kembali. Matali mengelilingi Kota Mithila searah jarum jam, dan menurunkan Bodhisatta di jendela yang sama, mohon pamit, dan kembali ke kediamannya. Banyak rakyat berkumpul mengelilingi raja, dan menanyakannya bagaimana rupa alam para dewa. Raja, menjelaskan kebahagiaan para dewa dan Sakka raja mereka, mengajarkan mereka untuk berderma dan berbuat bajik, agar mereka bisa lahir di alam surgawi.

Setelah itu, ketika pencukur rambutnya menemukan sehelai rambut putih dan memberitahunya, ia meminta pemangkas rambut mencabut rambut itu; [129] kemudian ia memberikan sebuah desa kepada pemangkas rambut, dan ingin meninggalkan keduniawian, ia membuat putranya menjadi raja menggantikannya. Maka ketika ditanya mengapa ia hendak meninggalkan keduniawian, ia melafalkan syair, “Lihatlah rambut putih ini;” dan seperti raja-raja sebelumnya ia meninggalkan keduniawian, berdiam dalam hutan mangga yang sama, mengembangkan Empat Keadaan Tanpa Batas, dan ditakdirkan lahir di alam brahma.

Pelepasannya akan keduniawian dijabarkan Guru dalam syair terakhir:

“Demikian Raja Nimi, penguasa Mithila berkata,

Dan setelah membuat pengurbanan perkasa,

Memasuki jalan pengendalian diri.”

Kemudian putranya, yang bernama Kajara-janaka, juga meninggalkan keduniawian, dan mengakhiri silsilahnya.

Ketika Guru menyelesaikan pembabaran-Nya, Ia berkata, ”Maka, para bhikkhu, ini bukanlah pertama kalinya Tathagata meninggalkan keduniawian: Ia melakukan hal yang sama sebelumnya.” Kemudian Ia mengidentifikasi kelahiran: “Pada waktu itu, Anuruddha adalah Sakka, Ananda adalah Matali, delapan puluh empat raja adalah pengikut Buddha, dan Raja Nimi adalah Saya sendiri.”

 

 

Catatan Kaki :

62 No. 541 tidak termasuk dalam MSS Professor Cowell.
63 Lihat No. 9, Vol.I, hlm. 137 (terjemahan hal. 30) lihat juga catatan I.32 terjemahan.
64 Salah eja, namun dibawahnya ditulis : Nimi
65 Pakkhadivasesu
66 Scholiast mengatakan bahwa keraguan ini muncul kepadanya pada malam hari, dan raja tidak bisa menyimpulkannya.
67 “karena,” kutip Scholiast, “airnya begitu rawan, hingga bulu merak pun tidak dapat mengambang, namun tenggelam ke dasarnya.”
68 Scholiast menambahkan upatthahim untuk menyelesaikan bentuk syair ini. Ia menambahkan cerita membosankan yang panjang untuk menjelaskan bagaimana penambahan ini terjadi. Syair ini cukup singkat seperti dalam bentuk aslinya.
69 Karakter komposit dari episode berikutnya jelas
70 Untuk penjabaran akan neraka, bandingkan Vol. V.hlm. 266 ff. (terjemahan hlm. 137 ff) Mahavastu, I. 9ff., Ciksasamuccaya hal. 75 ff.
71 Scholiast memberikan penjabaran panjang mengenai kengerian tempat ini.
72 ‘Dan semuanya menyala-nyala”: schol.
73 Karanika : ‘karanakaraka.’ Kamus St Petersburg kecil mengartikan makna “Lehrer”. Tidak ada petunjuk lainnya.
74 “Sebuah lubang penuh arang menyala;” schol.
75 Lihat iv. 32019 ff., terjemahan iv. 202 dengan catatan 1
76 Vol. IV. Hlm. 356 (iv. 225 dari terjemahan)
77 Vol. IV. Hlm. 358 (iv. 225 dari terjemahan); dan II. 257.

0 komentar:

Posting Komentar