No. 544
Mahanaradakassapa-Jataka
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Ada seorang Raja Videha,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Guru selagi berdiam di Taman Latthivana, sehubungan dengan pengalihyakinan Uruvela-Kassapa. Saat itu Guru yang telah memulai zaman Dhamma nan agung,
[220] setelah mengalihyakinkan petapa Uruvela-Kassapa dan sisanya, tiba di Taman Latthivana, dikelilingi seribu bhikkhu yang sebelumnya adalah petapa, demi meyakinkan Raja Magadha untuk memenuhi janjinya121; dan saat itu, ketika Raja Magadha yang telah datang bersama dengan iring-iringan dua belas keramaian, telah duduk setelah memberi hormat pada Buddha, lalu keributan muncul di antara para brahmana dan perumah-tangga pengiringnya, “Apakah Uruvela-Kassapa menempatkan dirinya di bawah bimbingan spiritual Petapa Agung, atau Petapa Agung yang menempatkan dirinya di bawah bimbingan spiritual Uruvela-Kassapa?” Kemudian Yang Penuh Berkah berpikir, “Aku akan menunjukkan kepada mereka bahwa Kassapa menempatkan dirinya di bawah bimbingan spiritual-Ku,” dan ia mengucapkan syair ini:“Apakah yang kalian lihat, wahai penghuni Uruvela, hingga kalian, yang terkenal karena pertapaan kalian122, meninggalkan api suci kalian? Saya bertanya kepada Anda pertanyaan ini, Kassapa, bagaimana kurban api Anda telah ditinggalkan?”
Kemudian bhikkhu itu, yang memahami tujuan Buddha, menjawab dalam syair ini:
“Kurban hanya terkait dengan wujud dan suara dan cita rasa, dan kenikmatan indriawi dan perempuan; dan mengetahui bahwa semua hal ini, yang ditemukan dalam unsur-unsur materi, adalah kotoran, maka saya tidak menemukan sukacita lagi dalam kurban atau persembahan.” Dan demi menunjukkan bahwa ia adalah siswa, ia bersujud di atas kaki Buddha dan berkata, “Yang Penuh Berkah adalah guru saya, dan saya adalah siswa-Nya.” Setelah mengatakan demikian ia mengambang ke udara tujuh kali, hingga setinggi pohon palem, dua pohon palem, dan seterusnya hingga setinggi tujuh pohon palem, dan setelah turun dan menghormat Yang Penuh Berkah, ia duduk di satu sisi. Kerumunan besar itu, ketika melihat mukjizat, memuji kejayaan Guru, seraya mengatakan, “Sungguh agung kekuatan Buddha; meski dipenuhi keyakinan teguhnya sendiri, meski ia memercayai dirinya adalah suciwan, Uruvela-Kassapa menghancurkan belenggu kekelirutahuan dan dialihyakinkan oleh Tathagata.” Guru mengatakan, “Tidaklah luar biasa bahwa Saya yang telah mencapai pencerahan sempurna bisa mengalihyakinkan Uruvela-Kassapa; pada zaman dahulu ketika Saya adalah brahma bernama Narada dan masih terkena nafsu keinginan, saya memecahkan belenggu kekeliruan orang ini dan membuatnya menjadi rendah hati;” dan sembari berkata demikian ia menceritakan hal berikut, atas permintaan hadirin:
Pada zaman dahulu di Mithila di Kerajaan Videha, di sana berkuasa raja adil dan sesuai kebenaran bernama Angati. Saat itu, dalam rahim permaisuri utamanya yang memiliki jasa kebajikan besar, dan yang telah berdoa selama seratus ribu zaman, akhirnya mengandung seorang anak perempuan yang cantik dan anggun, bernama Ruja. Enam belas ribu selirnya yang lain tidak menghasilkan anak. Anak perempuan ini menjadi sangat disayang dan dimanja olehnya. Setiap hari, ia biasanya mengirimkannya dua puluh lima keranjang penuh berbagai macam bunga dan busana indah, memintanya menghias dirinya dengan mereka; [221] dan ia biasanya mengirimkannya seribu keping uang, memintanya memberikan derma setiap tengah bulan karena ada kelimpahan makanan dan minuman saat itu. Raja itu memiliki tiga menteri, Vijayya, Sunama, dan Alata; dan suatu hari ketika pesta bulan purnama pada bulan keempat tiba, kota dan istana dihias seperti kota para dewa, setelah mandi dan diurapi dengan layak dan mengenakan segala jenis perhiasan, ketika berdiri bersama menteri-menterinya di teras jendela terbuka, sambil melihat bulan purnama di langit cerah, ia bertanya kepada menteri-menterinya, “Sungguh menyenangkan malam cerah ini, dengan hiburan apakah kita akan melewatkan waktu kita?”
Guru kemudian menjelaskan hal ini:
“Ada khattiya Raja Videha bernama Angati, yang memiliki banyak kereta, kaya, dan memiliki balatentara tak terkira jumlahnya. Suatu hari di tanggal lima belas bulan purnama, sebelum waktu jaga pertama usai, pada bulan purnama bulan keempat musim hujan, ia mengumpulkan para menterinya bersama-sama, Vijaya, dan Sunama, dan Jenderal Alataka, semuanya bijak, ayah putra-putra, yang tersenyum, dan penuh pengalaman. Raja Videha menanyai mereka, “Marilah kalian masing-masing menyatakan keinginannya, inilah bulan purnama bulan keempat, inilah sinar bulan tanpa adanya kegelapan; dengan hiburan apakah malam ini kita akan melewatkan waktu?’”
Ditanya demikian oleh raja, masing-masing bicara sesuai dengan hasrat hatinya.
Guru kemudian menjelaskan masalah ini:
“Lalu Jenderal Alata kemudian berkata kepada raja: ’Marilah kita mengumpulkan pasukan yang gegap gempita;
[222] mari kita pergi bertempur, dengan balatentara tak terhingga nyawa; mari kita taklukkan mereka yang masih menjaga diri mereka tetap mandiri di bawah kekuasaanmu; inilah pendapatku, mari taklukkan apa yang belum ditaklukkan.” Mendengar kata-kata Alata, Sunama berbicara demikian, ’Seluruh lawan Anda, wahai Raja, dipertemukan di sini, mereka telah meletakkan kekuatan mereka dan tunduk; hari ini adalah perayaan utama; perang tidak menyenangkan saya. Biarlah mereka membawakan kita daging dan minuman dan semua jenis makanan: Wahai Raja, nikmatilah kesenangan Anda dalam tarian, dan lagu, dan musik.’ Mendengar kata-kata Sunama, Vijaya berbicara seperti demikian, “Semua kenikmatan, wahai Raja Agung, selalu siap di samping Anda; mereka tidak sulit ditemukan, untuk memuaskan semua keinginan Anda: namun meski mereka selalu tercapai, aktivitas ini tidak saya setujui. Marilah kita melayani berbagai samana atau brahmana yang terpelajar dalam pengetahuan suci, yang terpelajar dalam naskah dan maknanya, sehingga bisa menyingkirkan keraguan kita hari ini dibanding dengan objek nafsu keinginan kita123.’ Setelah mendengar kata-kata Vijaya, Raja Angati berkata, ’Ucapan Vijaya pun menyenangkan hati saya. Mari kita melayani berbagai samana atau brahmana yang terpelajar dalam pengetahuan suci, yang terpelajar dalam naskah dan maknanya sehingga bisa menyingkirkan keraguan kita hari ini dibanding dengan objek nafsu keinginan kita. Laksanakanlah kegiatan ini; guru mana yang akan kita layani? Siapakah hari ini, yang terpelajar dalam pengetahuan suci, yang terpelajar dalam naskah dan maknanya, yang akan menyingkirkan keraguan kita hari ini dibanding dengan objek nafsu keinginan kita?’ Setelah mendengar kata-kata Videha, Alata menjawab, “Di sana ada petapa telanjang di taman rusa, yang disetujui semua orang sebagai bijaksana, Guna dari keluarga Kassapa, terkenal, orang yang memiliki berbagai macam pembabaran, dan dengan pengikut banyak; layanilah dia, wahai Raja, ia akan menyingkirkan keraguan kita.’ Setelah mendengar kata-kata Alata, raja memerintahkan sisa keretanya, ’Kita akan pergi ke taman rusa, siapkanlah kereta kemari.’[223] Kemudian mereka mempersiapkan keretanya yang terbuat dari gading dan dekorasi perak, membuat perlengkapannya berkilap dan bersih, putih dan tiada bernoda seperti malam cerah124 dalam penampakannya. Empat kuda Sindu diikatkan dengannya, putih seperti bunga bakung, kencang bagaikan angin, terlatih baik, mengenakan mahkota emas, putih payungnya, putih keretanya, putih kudanya, dan putih kipasnya. Raja Videha, ketika hendak berangkat bersama penasihatnya, bersinar bagaikan rembulan. Banyak orang bijak dan kuat bersenjatakan tombak dan pedang, menaiki kuda, mengikuti raja para pahlawan. Setelah menempuh perjalanan, seakan-akan sekejap saja, dan turun dari kereta, Videha dan para menterinya mendekati Guna dengan berjalan kaki; dan bahkan para brahmana dan orang kaya yang telah berkumpul di tempat itu tidak diminta pergi oleh raja, meski hampir tidak ada tempat yang tersisa.”[224] Dikelilingi oleh persamuhan beraneka rupa itu raja duduk di satu sisi dan memberikan salam.Guru kemudian menjelaskan hal itu:
“Kemudian raja duduk di satu sisi di atas permadani lembut, yang ditutupi dengan kulit tupai beraneka warna dengan bantal lembut di atas mereka. Raja, setelah duduk, berkata kepada pertapa itu dengan pujian persahabatan dan kesantunan, ’Apakah keperluan jasmani Anda terpenuhi? Apakah kesehatan Anda tidak tersia-sia? Apakah cara penghidupan Anda nyaman? Apakah Anda mendapatkan asupan derma yang selayaknya Anda dapat? Apakah pergerakan Anda tidak terhalang? Apakah penglihatan Anda tidak menurun?’ Guna dengan sopan menjawab Videha yang begitu perhatian terhadap kewajiban-kewajibannya, ’Seluruh keperluan saya tersedia, dan kedua hal yang terakhir disebutkan adalah seperti yang saya hendaki. Anda pun, apakah negeri tetangga Anda tidak terlampau kuat bagi Anda? Apakah Anda memiliki kesehatan yang demikian baik seperti yang Anda butuhkan? Apakah kereta Anda membawa Anda pula? Apakah Anda tidak memiliki penyakit yang mendera tubuh?’ Raja, hendak mengetahui Dhamma, setelah menerima sapaan ramah ini, berikutnya menanyainya mengenai makna dan naskah Dhamma dan prinsip perbuatan benar. “Bagaimana, wahai Kassapa, sebaiknya seorang manusia memenuhi Dhamma terhadap orang tuanya, bagaimana bersikap terhadap gurunya, dan bagaimana terhadap istri dan anak-anaknya? Bagaimana seharusnya ia bersikap terhadap yang telah sepuh, bagaimana terhadap para petapa dan brahmana, bagaimana seharusnya ia berurusan dengan pasukannya, bagaimana dengan rakyat dalam negara? Bagaimana ia mempraktikkan Dhamma dan pada akhirnya mencapai kelahiran di surga? Dan bagaimana sebagian orang karena kekeliruan jatuh ke neraka?’”
[225] Melalui ketiadaan seseorang yang terunggul di antara Buddha Sempurna Mandiri, Buddha Diam, Buddha Siswa, atau petapa bijaksana, raja menanyakan rangkaian pertanyaan agung yang layak untuk diajukan, kepada seorang petapa telanjang dan malang, yang tidak tahu apa-apa dan sama membutanya seperti anak-anak; dan ia, karena ditanya demikian, tidak memberikan jawaban yang patut terhadap pertanyaan itu namun mengambil kesempatan itu dengan pernyataan, “Wahai Raja,” untuk membabarkan Dhamma sesatnya sendiri, seperti orang yang memukul sapi ketika sapi menolak untuk mematuhi atau melempari kotoran ke kuali makanan orang lain.Guru kemudian menjelaskan hal itu:
“Setelah mendengar kata-kata Raja Videha, Kassapa kemudian menjawab: ’Dengarkanlah wahai Raja, pernyataan sejati yang tak mungkin salah. Tidak ada buah, baik bajik atau jahat, dalam mengikuti Dhamma; tidak ada alam lain, wahai Raja, siapa yang pernah kembali kemari dari sana? Tidak ada leluhur, bagaimana bisa ada ayah atau ibu? Tidak ada guru, siapa yang akan menjinakkan yang tidak bisa terjinakkan? Semua makhluk setara dan serupa, tidak ada yang seharusnya menerima atau memberi penghormatan; tidak ada yang namanya kekuatan atau keberanian, bagaimana bisa ada pengupayaan dan kepahlawanan? Semua makhluk telah ditakdirkan sebelumnya, sama seperti tambang di geladak harus mengikuti kapal. Setiap makhluk mendapatkan apa yang akan ia dapat, karena itu apa gunanya memberi? Tidak ada gunanya, wahai Raja, berderma, yang memberi tak berdaya dan lemah; hadiah-hadiah diberikan oleh orang bodoh dan diterima oleh yang bijaksana; orang bodoh yang lemah berpikir bahwa mereka bijaksana memberi kepada yang bijaksana.’”
[226] Setelah menjabarkan tiada bermanfaatnya memberi, ia melanjutkan menjabarkan ketidakberdayaan perbuatan jahat untuk menghasilkan akibat selanjutnya:“’Ada tujuh gugus yang tidak dapat dihancukan dan terluka, api, tanah, air, udara, kenikmatan, dan nyeri, dan batin; dari ketujuh hal ini tiada yang bisa menghancurkan atau membagi, ataupun mereka akan bisa hancur; senjata tajam akan lewat tanpa bisa melukai di antara gugus-gugus ini. Ia yang memenggal kepala yang lainnya dengan pedang tajam tidak memisahkan gugus-gugus ini: bagaimana mungkin akan ada akibat dari perbuatan jahat? Semua makhluk menjadi murni dengan melalui delapan puluh empat kalpa besar; sampai periode itu sampai, tidak bahkan yang mengendalikan diri menjadi murni. Sampai periode itu tiba, betapa pun banyaknya mereka menjalani kebajikan, mereka tidak menjadi murni, dan bahkan jika mereka melakukan banyak kejahatan, mereka tidak pergi melampaui batasan itu. Satu demi satu kita dimurnikan sepanjang delapan puluh empat kalpa besar: tidak bisa pergi melampaui takdir kita seperti laut tidak bisa melampaui tepiannya.’”
[227] Demikianlah ia menganjurkan paham kenihilan untuk memaksakan Dhammanya sendiri dengan rasa permusuhan tanpa memberikan penalaran terhadap bukti-bukti lampau apa pun125:“Setelah mendengar kata-kata Kassapa, Alata kemudian menjawab: ’Apa yang Anda katakan juga berlaku bagi saya. Saya pun ingat pernah melalui kelahiran lampau. Saya adalah pemburu penjagal kerbau bernama Pingala di dalam kota. Banyak perbuatan jahat kulakukan di Benares yang makmur, banyak makhluk hidup yang saya bantai: banteng, babi hutan, dan kambing. Keluar dari kelahiran itu, saya kemudian lahir dalam keluarga makmur seorang jenderal: sungguh tidak ada akibat buruk dari kejahatan, saya tidak harus pergi ke neraka.’
Kini kebetulan ada seorang budak yang memakai kain-kain bekas, bernama Bljaka, yang menjalani puasa, dan yang telah datang mendengarkan Guna; ketika ia mendengar kata-kata Kassapa dan jawaban Alata, ia mengelah napas panjang dan menangis terisak-isak. Raja Videha bertanya kepadanya, ’Mengapa Anda menangis? Apa yang telah Anda lihat atau dengar? Mengapa Anda menunjukkan derita?’
[228] BTjaka menjawab, “Tak ada derita yang mendera saya: dengarkan saya, wahai Raja. Saya pun ingat dalam kelahiran lampau saya, kelahiran yang bahagia; saya adalah seorang Bhavasetthi di Kota Saketa, yang mendedikasikan diri kepada kebajikan, murni, memberikan derma, dan dihargai oleh brahmana dan orang kaya; dan saya ingat tidak satu pun perbuatan jahat yang saya lakukan. Namun ketika saya berlalu dari kehidupan itu saya terkandung dalam rahim seorang pelacur miskin, dan lahir dalam kehidupan yang menyedihkan. Namun betapa pun sengsaranya, saya tetap menjaga batin saya yang damai, dan saya memberikan separuh makanan saya kepada siapa pun yang menginginkannya. Saya menjalani puasa setiap tanggal empat belas dan lima belas, dan saya tidak pernah melukai makhluk hidup, dan saya berpantang dari mengambil yang tidak diberikan. Namun seluruh perbuatan bajik yang kulakukan tidak menghasilkan buah apa pun; seperti yang Alata katakan, saya berpikir bahwa kebajikan tidak bermanfaat. Saya kalah dalam permainan kehidupan sebagai pemain dadu yang bodoh; Alata telah menang seperti yang telah ia lakukan, seperti pemain yang ahli; saya tidak melihat pintu yang bisa kulalui untuk pergi ke surga; karena inilah saya menangis ketika mendengar apa yang Kassapa katakan.’[229] Setelah mendengar kata-kata BTjaka, Raja Angati berkata, ’Tidak ada pintu menuju surga; cukup tunggulah takdir. Baik nasib Anda adalah kebahagiaan atau derita, itu hanya diperoleh dari takdir; semuanya pada akhirnya akan mencapai pembebasan dari kelahiran ulang; janganlah berambisi akan masa depan. Saya pun telah beruntung dalam kelahiran lampau dan berdedikasi kepada para brahmana dan orang kaya, namun selagi saya masih sibuk memberikan hukum namun sementara itu saya tidak beroleh kenikmatan.’” Demikian setelah bicara ia memohon pamit, “Wahai Kassapa yang mulia, selama ini saya telah lalai, namun kini akhirnya saya menemukan seorang guru, dan dari sejak saat kini, mengikuti ajaran Anda, saya akan mengambil kegembiraan saya hanya dalam kenikmatan, dan bukan bahkan mendengar pembabaran mengenai kebajikan akan menghalangi saya. Tinggallah di mana Anda berada, saya kini akan pamit; kita mungkin akan melihat dan bertemu lagi.’” Usai berkata demikian Raja Videha kembali ke rumah.[230] Ketika raja pertama kali mengunjungi Guna ia memberikan penghormatan padanya dengan pantas dan kemudian menanyai pertanyaan; namun ketika ia pergi, ia pergi tanpa memberikan salam: karena Guna tidak sesuai dengan namanya, melalui ketidakberhargaannya126 sendiri, ia tidak menerima penghormatan, apalagi persembahan derma. Maka setelah malam itu berlalu dan keesokan hari tiba, raja mengumpulkan menteri-menterinya bersama dan berkata kepada mereka, “Kumpulkan semua unsur kenikmatan, dari sejak saat ini saya hanya akan mengikuti pengejaran kenikmatan, tidak ada urusan lain yang boleh disebutkan kepada saya, biarkan orang ini-dan-itu menjalani urusan pemberian peradilan,” dan ia mendedikasikan dirinya pada kenikmatan sesuai dengan kata-katanya.Guru kemudian menjelaskan hal seperti demikian:
“Ketika malam beralih menjadi siang, Angati memanggil para menterinya agar hadir dan kemudian berkata kepada mereka: ’Dalam Istana Candaka biarlah selalu tersedia kenikmatan bagiku, jangan biarkan siapa pun dengan pesan mengenai hal-hal umum atau rahasia. Biarkan Vijaya, Sunama, dan jenderal Alataka, ketiganya yang piawai dalam hukum, duduk memutuskan masalah-masalah ini.” Maka raja, setelah mengatakan hal ini, hanya memikirkan tentang kenikmatan dan menyibukkan dirinya tidak lebih dalam pergaulan bersama brahmana dan orang kaya.
Kemudian pada malam ke-14, putri terkasih raja, Ruja, berkata kepada pengurusnya, “Dandani saya cepat dengan permata, biarlah pengiring-pengiring perempuan saya menunggui saya; besok adalah tanggal lima belas yang suci, saya akan pergi menghadap pertemuan kerajaan.’ Mereka membawa kepadanya mahkota bunga dan cendana, permata, kerang, mutiara, dan benda-benda berharga, dan kain aneka warna; dan banyak pelayannya, mengelilinginya selagi ia duduk di atas kursi emas, menghiasnya, membuatnya berkilau dalam kecantikannya.
[231] Kemudian di tengah iring-iringannya, menyala dengan segala jenis perhiasan, Ruja memasuki Istana Candaka seperti petir memasuki aw an. Setelah mendekati raja dan memberi hormat padanya, dengan segala hormat127, ia duduk di satu sisi di atas kursi berlapis emas.[232] Raja, ketika ia melihatnya dikelilingi iring-iringannya seakan serombongan bidadari surgawi telah mengunjunginya, kemudian berkata kepadanya: ’Apakah Anda menikmati telaga di sekitar istana? Apakah mereka selalu membawakan Anda segala jenis makanan enak? Apakah Anda dan pelayan Anda mengumpulkan segala jenis kalung bunga dan membangun rangka penahan untuk diri Anda sendiri terus-menerus, bersemangat melakukan aktivitas itu? Apakah Anda mengalami kekurangan? Biarlah mereka membawanya segera, mintalah apa yang Anda mau, wahai yang spontan128, bahkan meski hal itu seberat mendapatkan rembulan.’Mendengar kata-katanya Ruja menjawab ayahnya:
’Wahai Raja, dalam kehadiran Baginda setiap keinginan saya tercapai. Besok adalah tanggal lima belas yang suci, biarlah mereka membawakan saya seribu keping, supaya saya bisa memberinya semua sebagai persembahan kepada para pengemis.’
Mendengar kata-kata Ruja, Raja Angati menjawab: ’Banyak kekayaan telah disia-siakan tiada berguna dan tanpa hasil olehmu. Kamu menjalani hari uposatha dan tidak makan atau minum; pemikiran akan kewajiban puasa ini datang dari takdir, tidak ada jasa kebajikan karena kamu berpantang. [233]129 Selagi kamu hidup bersama kita, Ruja, janganlah menyia-nyiakan makanan; tidak ada alam lain selain ini, mengapa menyiksa dirimu sia-sia?’
Kemudian Ruja, cerah dalam kecantikannya, ketika mendengar kata-katanya, kemudian menjawabnya, mengetahui Dhamma masa lalu dan masa depan: ’Saya telah mendengar pada masa lampau dan saya telah menyaksikannya dengan mata saya sendiri, ia yang mengikuti anak-anak akan menjadi anak-anak pula. Orang bodoh yang bergaul dengan orang bodoh akan tenggelam makin jauh ke dalam kebodohan. Adalah sesuai bagi Alata dan Bljaka untuk tertipu; [234] namun Anda adalah raja yang penuh dengan pengetahuan, bijak, dan piawai dalam melakukan pekerjaan; bagaimana Baginda telah jatuh ke dalam teori yang demikian rendah, yang hanya layak bagi kanak-kanak? Jika orang dimurnikan hanya melalui sepanjang eksistensi, maka pertapaan Guna itu sendiri tidak berguna; seperti ngengat yang terbang ke lilin yang menyala, orang dungu itu telah menjalani kehidupan petapa telanjang. Setelah menerima pemikiran bahwa semuanya pada akhirnya akan menjadi murni melalui kelahiran ulang, dalam kebodohan besar banyak yang akan menodai perbuatan mereka; dan dengan cepat tertangkap oleh akibat kejahatan lampau, mereka sulit menemukan jalan keluar, seperti ikan dari kailnya.
Saya akan memberitahu Anda sebuah kiasan, wahai Raja, untuk kasus Anda: orang bijak terkadang mempelajari kebenaran melalui kiasan. Seperti kapal pedagang, yang berat karena memuat terlalu banyak muatan, tenggelam ke dalam samudra, demikian pula orang, yang menumpuk kejahatan sedikit demi sedikit, tenggelam kelebihan beban ke dalam neraka. Muatan Alata kini, wahai Raja, tidaklah apa yang ia kumpulkan kini; karena apa yang ia bawa ke geladak kini akan menyebabkannya tenggelam ke neraka. Sebelumnya perbuatan Alata adalah bajik, dan karena hasilnya itulah ia menikmati kemakmuran ini. Perbuatan j as any a kini tengah dihabiskan, karena ia hanya berniat berbuat jahat; setelah meninggalkan jalan lurus, ia berlari langsung menuju jalan yang sesat.
[235] Seperti neraca yang digantungkan dengan benar di rumah-timbang130 menyebabkan neraca satunya mengayun naik ketika pemberat diletakkan, demikian pula manusia menyebabkan takdirnya pada akhirnya naik jika ia mengumpulkan setiap pernik jasa kebajikan sedikit demi sedikit, seperti budak Bljaka yang bertekad pada kebajikan dan terlampau memikirkan surga.Dalam kesedihan yang budak BTjaka kini derita ia menerima buah perbuatan yang dahulunya ia lakukan. Kejahatan itu tengah meleleh karena ia tekun pada kebajikan moral, namun jangan biarkan ia memasuki jalan sesat Kassapa.
Kemudian ia melanjutkan menunjukkan keburukan mempraktikkan kejahatan dan pahala mengikuti sahabat yang layak131:
’Apa pun sahabat yang dihormati seorang raja, baik ia jahat atau bajik, tekun terhadap kejahatan atau kebajikan, raja itu akan terjatuh ke dalam kekuatannya. Seperti juga sahabat yang ia pilih bagi dirinya sendiri dan ikuti, demikian pula ia jadinya, demikianlah kekuatan dari keakraban. [236] Seseorang dalam pergaulan ajek memengaruhi temannya, sahabat akrab, rekannya, sama seperti panah beracun menodai perak murni. Jangan biarkan orang bijaksana menjadi sahabat yang jahat karena takut akan terkotori. Jika seorang mengikat ikan bau dengan seikat rumput kusa, rumput akan memperoleh bau busuk, demikian pula pergaulan akrab dengan orang bodoh; namun jika orang mengikatkan getah wangi dalam daun biasa, daun itu akan mendapatkan bau wangi, demikian juga keakraban dengan yang bijaksana. Lebih lanjut, mengetahui kematangan perbuatannya sendiri seperti kematangan keranjang buah, jangan biarkan orang bijaksana mengikuti yang jahat, melainkan mengikuti yang baik, karena yang jahat membawa ke neraka, sementara yang baik membawa kita ke surga. ’
Putri itu, setelah memberikan pembabaran mengenai kebajikan dalam enam syair ini menyatakan kesedihan yang telah ia lalui dalam kelahiran-kelahiran lampaunya:
’Saya pun ingat tujuh kelahiran yang telah saya alami, dan ketika saya pergi dari kehidupan kini saya akan melalui tujuh kelahiran mendatang. Tujuh kelahiran saya yang lampau, wahai Raja, adalah sebagai putra pandai besi di Kota Rajagaha di Magadha. Saya memiliki pergaulan jahat dan saya melakukan banyak kejahatan; pergi berzinah dengan istri orang lain seakan-akan kita ini hidup kekal. Perbuatan itu tetap teronggok seperti api tertutup abu. Oleh hasil perbuatan itu saya lahir di Negeri Varhsa [237] dalam keluarga pedagang di Kosambi, yang megah, makmur, dan kaya: saya adalah satu-satunya putra, terus-menerus dihormati dan dimanja. Di sana saya mengikuti sahabat yang tekun terhadap perbuatan bajik, bijaksana, dan penuh pengetahuan suci, dan ia menana.mka.nku dalam apa yang bajik. Saya berpuasa melalui banyak tanggal empat belas dan lima belas; dan perbuatan itu teronggok seperti harta karun dalam air. Namun, buah perbuatan jahat yang telah saya lakukan di Magadha datang kepada saya seperti racun memuakkan. Saya meninggal dari sana dan selama waktu yang lama, wahai Raja, masuk ke dalam Neraka Roruva, saya menanggung akibat perbuatan saya sendiri; ketika saya mengingatnya saya masih berduka. Setelah menghabiskan waktu penuh derita dari sana selama bertahun-tahun yang panjang, saya menjadi kambing yang dikebiri di Bhennakata. [238] Saya membawa putra-putra keluarga kaya di punggung saya dan dalam kereta; ini adalah akibat yang ditakdirkan karena saya mengejar istri orang lain.
Setelah itu saya lahir dalam rahim monyet dalam hutan; dan pada hari kelahiran saya mereka mempertemukan saya dengan pimpinan kawanan itu, yang berseru, “Bawa putraku kepadaku,” dan ia dengan keji merenggut buah zakar saya dengan giginya dan menggigit putus meski aku menjerit.’ Ia menjelaskan ini dalam syair.
’Saya kemudian lahir, wahai Raja, sebagai lembu di antara kaum Dasanna, dikebiri namun kencang dan elok dilihat, dan lama saya menarik kereta; ini adalah akibat fatal karena saya mengejar istri orang lain. Ketika saya berlalu kelahiran itu saya lahir dalam sebuah keluarga di antara kaum Vajji132; namun saya bukanlah pria ataupun wanita, karena sangat sulit untuk bisa meraih kelahiran sebagai pria; ini adalah akibat fatal karena saya mengejar istri orang lain. Berikutnya, wahai Raja, saya lahir di Hutan Nandana, seorang bidadari dengan kulit indah di Surga Tiga Puluh Tiga Dewa, berpakaian dalam gaun dan perhiasan aneka warna dan mengenakan giwang bertatahkan permata, piawai dalam tarian dan lagu, pelayan istana Sakka. Selagi saya berdiam di sana, saya ingat akan semua kelahiran ini dan juga tujuh kelahiran mendatang yang akan saya alami ketika saya meninggalkan alam ini. Kebajikan yang saya lakukan di Kosambi telah tiba gilirannya kini, dan ketika saya berlalu dari kelahiran ini saya akan lahir hanya di antara para dewa atau manusia. Selama tujuh kelahiran, wahai Raja, saya akan dihormati dan dipuja, namun sampai kelahiran keenam berlalu, saya tidak akan terbebas dari jenis kelamin perempuan. [239] Namun ada kelahiranku yang ketujuh, wahai Raja, sebagai putra makmur para dewa, saya pada akhirnya akan terlahir sebagai dewa pria dengan tubuh surgawi. Bahkan hari ini, mereka masih mengumpulkan kalung dari pohon surgawi di Nandana, dan ada putra dewa, bernama Java, yang mencari kalung bunga untuk saya. Enam belas tahun dalam kehidupan saya kini hanyalah sekejap saat di surga, seratus musim gugur manusia sama seperti sehari dan semalam di surga. Demikianlah perbuatan kita mengikuti kita melalui tidak terhingga kelahiran, membawa kebajikan atau keburukan, tiada perbuatan kita yang pernah hilang.’
[240] Kemudian ia menyatakan Dhamma tertinggi:’la yang ingin naik terus-menerus dari kelahiran ke kelahiran, hindarilah mengejar istri orang lain seperti orang yang dengan kaki bersih menjauhi kubangan. Ia yang ingin naik terus-menerus dari kelahiran ke kelahiran, biarlah ia memuja Bhagawa seperti para pelayannya memuja Indra. Ia yang menginginkan kenikmatan surgawi, kehidupan surgawi, kejayaan, dan kebahagiaan, biarlah ia menghindari kejahatan dan mengikuti tiga jenis Dhamma. Penuh perhatian dan bijaksana dalam tubuh, ucapan, dan pemikiran, ia mengikuti kebajikan tertingginya sendiri, baik ia lahir sebagai perempuan atau pria. Siapa pun yang lahir agung di dunia dan ditumbuhkan dalam segala jenis kenikmatan, tidak diragukan lagi pada masa lalu mereka menjalani hidup bajik; semua makhluk secara terpisah mengikuti perbuatannya sendiri-sendiri. Apakah Anda berpikir, wahai Raja, apa yang menyebabkan Anda memiliki istri-istri seperti bidadari surgawi, cantik berhias, dan mengenakan jaring emas?’”
[241] Demikianlah ia menasihati ayahnya. Guru kemudian menjelaskan hal itu:“Demikianlah putri Ruja menyenangkan ayahnya, ia mengajari yang bingung jalan sejati, dan dengan tekun menyatakan kepadanya Dhamma.”
Setelah menyatakan Dhamma kepada ayahnya sepanjang malam dari pagi hari, ia berkata kepadanya, “Wahai Raja, jangan dengarkan kata-kata petapa sesat telanjang, namun terimalah kata-kata dari sahabat bajik133 seperti saya, yang memberitahu Anda bahwa ada alam ini dan alam lainnya, dan ada konsekuensi yang ditakdirkan untuk setiap perbuatan baik atau buruk, janganlah melaju lewat jalan keliru.”
Namun ia masih juga belum bisa membebaskan ayahnya dari ajaran sesat: ia hanya senang ketika ia mendengar kata-katanya yang manis, karena semua orang tua alaminya mencintai kata-kata anak mereka tersayang, namun tidak meninggalkan pandangan lama mereka. Demikian muncul pula kegemparan dalam kota, “Putri raja, Ruja sedang berupaya mengusir pandangan sesat dengan mengajarkan Dhamma,” dan banyak orang merasa senang, “putri yang bijaksana akan membebaskan beliau dari ajaran sesat hari ini dan akan membuka kesejahteraan bagi rakyat.” Namun meski ia tidak bisa membuat ayahnya memahami, ia tidak putus asa, namun bertekad bahwa oleh satu atau lain cara ia akan membawa ayahnya ke kebahagiaan sejati, maka ia merangkapkan tangan di kepalanya dan setelah memberikan penghormatan ke sepuluh arah, ia mempersembahkan puja, sambil berkata, “Di dunia ini ada dewa-dewa yang berdiam, ada banyak dewa-dewa brahma agung, biarlah mereka datang dan menyebabkan ayahku meninggalkan kesesatan ini; [242] dan jika mereka sendiri tidak memiliki daya, biarlah mereka datang dengan kekuatan dan kebajikanku dan mengusir kesesatan dan membawa kesejahteraan seluruh dunia.”
Saat itu brahma agung zaman itu adalah Bodhisatta bernama Narada; dan para Bodhisatta berada dalam kekuasaan, kewelasan, cinta kasih, melayangkan pandangannya ke dunia dari waktu ke waktu untuk melihat yang makhluk-makhluk yang benar dan salah. Ketika hari itu ia tengah melihat di seluruh dunia, ia melihat putri tengah memuja para dewa yang ada dalam keinginannya membebaskan ayahnya dari kesesatan, dan ia berpikir dalam hati, “Selain diriku, tiada orang lain yang bisa menghalau ajaran salah. Aku harus datang hari ini dan menunjukkan kebaikan kepada putri dan membawa kebahagiaan kepada raja dan rakyatnya. Dengan pakaian apa aku akan pergi? Para petapa tersayang dan dihormati manusia dan kata-kata mereka dipandang berharga untuk diterima; aku akan pergi berpakaian sebagai petapa.” Maka ia beralih menjadi wujud manusia yang menyenangkan, memiliki kulit seperti emas, dengan rambutnya ikal dan panjang, dan jarum emas menjadi pengikatnya; dan setelah mengenakan pakaian merah kumal di luar dan di dalam, dan setelah menyelempangkan di salah satu bahunya kulit rusa hitam yang terbuat dari perak dan dihiasi bintang emas, dan setelah mengambil mangkuk makanan emas dengan tali seutas mutiara, dan setelah menyandarkan bahunya sebuah galah pengangkut dari emas yang berlekuk di tiga tempat134 , dan setelah membawa mangkuk air dari koral dengan tali dari seutas mutiara, ia pergi dengan pakaian ini melalui surga-surga dengan bersinar seperti rembulan di antara rasi bintang, dan setelah memasuki teras Istana Canda, ia berdiri mengambang di angkasa di hadapan raja.
Guru kemudian menjelaskannya demikian:
“Kemudian Narada turun ke alam manusia dari alam brahma, dan menilik JambudTpa ia melihat Raja Angati. Kemudian ia berdiri di istana di hadapan raja, dan Ruja, yang setelah melihatnya, memberikan hormat petapa agung yang telah tiba.”
[243] Kemudian raja, ditegur oleh keagungan Brahma, tidak bisa tetap duduk di takhtanya, namun turun dan berdiri di tanah dan menanyai apa sebab kedatangannya, berikut siapa nama dan marganya.Guru kemudian menjelaskannya:
“Kemudian raja, dengan batin kaget, setelah turun dari singgasananya, berbicara demikian kepada Narada, menanyainya: ’Dari mana Anda yang memiliki penampilan surgawi, seperti bulan menerangi malam hari, datang? Beritahukan saya nama dan marga Anda, bagaimana kami memanggil Anda di alam manusia?’”
Kemudian Bodhisatta berpikir dalam hati, “Raja ini tidak memercayai adanya alam lain, aku akan memberitahukannya mengenai alam lain,” maka ia mengucapkan syair:
“Saya datang dari alam dewa seperti rembulan menyinari langit, saya beritahu Anda nama dan keluarga saya seperti permintaan Anda: mereka mengenali saya sebagai Narada dan Kassapa.”
Kemudian raja berpikir dalam hati, “Tadi aku
menanyainya soal alam lain; kini aku akan menanyainya apa tujuan mukjizat ini.”
“Dalam hal Anda datang dan berdiri dengan cara luar biasa ini, saya bertanya kepada Anda, Narada, apa maksudnya; apa alasan mukjizat ini dilakukan?”
[244] Narada menjawab:“Kebenaran, kebajikan, pengendalian diri, dan
kedermawanan, inilah pada masa lampau kebajikan saya yang terkemuka; melalui kebajikan yang sama ini, saya dengan tekun mengikutinya saya pergi ke mana pun secepat kilat ke mana pun saya pergi.”
Bahkan meski ia tengah bicara demikian kepada raja, tidak mampu memercayai adanya alam lain karena kebiasaan pandangan sesatnya, ia berseru, “Apakah ada yang namanya imbalan atas perbuatan bajik?” dan mengulang sebuah syair:
“Anda menyebutkan keajaiban ketika Anda berbicara akan keperkasaan yang dibawa oleh perbuatan bajik; jika memang hal ini seperti yang Anda katakan, Narada, pertanyaan yang kulontarkan ini mohon Anda jawab sejujurnya.”
Narada menjawab:
“Tanyai saya, wahai Raja; inilah urusan Anda; keraguan yang Anda rasakan ini saya jamin akan bisa saya pecahkan untuk Anda dengan penalaran, dengan logika, dan dengan bukti-bukti.”
[245] Raja mengatakan:“Saya menanyai Anda hal ini, wahai Narada: jangan berikan saya jawaban palsu atas pertanyaan; apakah benar ada para dewa atau leluhur, apakah ada alam lain seperti yang orang-orang bilang?”
Narada menjawab:
“Para dewa dan leluhur sungguh ada, ada alam lain seperti yang dikatakan orang-orang, namun manusia yang tamak dan tergila-gila dengan kenikmatan tidak mengetahui alam lain dalam khayalan mereka.”
Ketika raja mendengar ini, ia tertawa dan mengutarakan sebuah syair:
“Jika Anda memercayai, Narada, bahwa ada alam lain tempat kediaman bagi yang mati, maka berikanlah kepada saya lima ratus keping, dan saya akan memberi Anda seribu keping di alam berikutnya.”
Kemudian Bodhisatta menjawab, menegurnya di hadapan banyak orang:
“Saya akan memberi Anda lima ratus keping jika saya tahu bahwa Anda bajik dan dermawan; namun siapa yang akan menagih lima ratus keping di alam berikutnya, jika Anda, yang tidak mengenal kasihan, sedang berdiam di neraka? Sebab ketika orang benci terhadap kebajikan, pencinta kejahatan, malas, dan keji, orang bijak tidak akan memercayakan pinjaman kepadanya: tidak ada imbal balik dari penghutang yang demikian. [246] Ketika orang mengetahui bahwa yang lainnya piawai, aktif, bajik, dan dermawan, mereka mengundangnya meminjam dengan keuntungan yang mereka pegang; ketika ia telah menyelesaikan urusannya, ia akan mengembalikan apa yang ia pinjam.”
Raja, ditegur demikian, tidak siap dengan sebuah jawaban.
Orang banyak, merasa gembira, berseru, “Wahai Putri, Anda sungguh memiliki kekuatan ajaib, Anda akan membebaskan raja dari ajaran salahnya hari ini,” dan seluruh kota dipenuhi kegembiraan. Kemudian oleh kekuatan Bodhisatta tidak seorang pun dalam jarak tujuh yojana di seluruh cakupan Mithila yang tidak mendengarnya mengajar Dhamma. Kemudian Bodhisatta merenung, “Raja ini telah mencengkeram ajaran salah dengan sangat teguh; aku akan menakutinya dengan kengerian akan neraka dan membuatnya menyerah, kemudian aku akan menghiburnya dengan beberapa surga para dewa;” maka ia berkata kepadanya, “Wahai Raja, jika Anda tidak meninggalkan ajaran ini, Anda akan masuk ke neraka dengan siksaan tiada akhir,” dan ia mulai menceritakan berbagai neraka yang berbeda:
“Ketika Anda pergi dari sini Anda akan melihat diri Anda diseret oleh rombongan gagak dan dimangsa mereka ketika Anda masih hidup di neraka, dan oleh gagak, burung nasar, dan rajawali, dengan tubuh Anda tercabik dan meneteskan darah: siapa yang akan menagih Anda seribu keping di alam berikutnya?”
[247] Setelah menggambarkan neraka gagak, ia mengatakan, “Jika Anda tidak berdiam di sana, Anda akan berdiam di neraka dalam ruang di antara tiga lingkup,” dan ia mengucapkan syair untuk menjabarkannya:“Kegelapan membutakan ada di sana, tiada bulan atau matahari, neraka yang selalu bergolak dan menakutkan; ia tidak dikenal sebagai baik siang atau malam: siapa yang akan berkeliaran mencari uang di tempat seperti itu?”
Kemudian setelah menjabarkan neraka antara dengan panjang lebar, ia mengatakan, “Wahai Raja, jika Anda tidak meninggalkan ajaran kelirumu, Anda akan menderita tidak hanya ini saja namun siksaan lain pula,” dan ia mengucapkan syair:
“Dua anjing Sabala dan Sama berukuran raksasa, perkasa, dan kuat, akan memangsa dengan gigi besi ia yang terseret ke sana dan pergi ke alam lain.”
Aturan yang sama pun berlaku bagi neraka-neraka setelahnya; karena itu semua alam ini, berikut dengan penjaga mereka, digambarkan dalam prosa yang kaya dengan berbagai macam syair dalam urutan berikut.
“Saat ia hidup dalam neraka kemudian dimangsa hewan keji penyiksa, dengan tubuh terkoyak dan bercucuran darah, siapa yang akan menagih seribu keping darinya di alam berikutnya?
[248] Dengan anak panah dan tombak yang terasah, dengan Kalupakala sebagai musuh yang memukul dan melukainya di neraka ia yang sebelumnya melakukan kejahatan.Ketika ia berkelana di neraka lalu dipukuli di perut dan sisinya, dan dengan ususnnya terburai, tubuhnya terkoyak dan mengucurkan darah, siapa yang akan menagih seribu keping darinya di alam berikutnya?
Hujan lebat tombak, panah, lembing, duri, dan berbagai macam senjata, api berjatuhan seperti batu bara menyala, menghujan batu-batu runcing pada orang keji ini.
Angin panas tak tertahankan bertiup di neraka, tidak bahkan kenikmatan sekejap pun dirasakan di sana; berkeliaran ke sana kemari, nyeri, tanpa perlindungan, siapa yang akan menagih seribu keping darinya di alam berikutnya?
Bergegas maju terikat pada kereta, menginjak tanah berapi, [249] dilecut oleh cambuk dan tongkat, siapa yang akan menagih seribu keping darinya di alam berikutnya?
Ketika ia mendaki gunung menyala yang menakutkan, yang dipenuhi pisau tajam, tubuhnya terleceti dan mencucurkan darah, siapa yang akan menagih seribu keping darinya di alam berikutnya?
Ketika ia mendaki tumpukan batu bara menyala mengerikan seperti gunung, dengan sekujur tubuhnya terbakar, menyedihkan, dan menangis, siapa yang akan menagih seribu keping darinya di alam berikutnya?
Ada rerimbunan terpisah seperti tumpukan awan, penuh duri, dengan duri besi tajam yang meminum darah pria, perempuan dan pria yang memburu istri orang lain harus mendakinya, terlecut oleh pelayan Yama yang membawa tombak di tangan mereka.
Ketika mendaki pohon kapas-sutra neraka yang ditutupi darah, tubuhnya lecet dan terkelupas, nyeri dan terdera sakit, tersengal oleh isak tangis dan kemudian menyesali kejahatan lampaunya, siapa yang akan meminta darinya hutang lamanya?
[250] Ada hutan terpisah seperti tumpukan awan, diliputi pedang sebagai daunnya, dipersenjatai pisau baja yang meminum darah pria; ketika ia mendaki pohon berdaun besi, terpotong pedang-pedang tajam, tubuhnya lecet dan mencucurkan darah, siapa yang akan menagih seribu keping darinya di alam berikutnya?Ketika ia meloloskan diri dari neraka daun besi dan jatuh ke Sungai VetaranI, siapa yang akan menagih hutang lamanya?
Di aliran Sungai VetaranI yang keji135, dengan air mendidih dan terliputi teratai baja dan daun tajam; ketika ia bergegas di sepanjang aliran itu dengan tertutupi darah dan sekujur tubuhnya terpotong, dalam aliran VetaranI tempat tiada apa pun yang bisa disandari, siapa yang akan menagih hutang lamanya?”
Ketika raja mendengar penggambaran neraka dari Bodhisatta, muncul kebingungan dalam hatinya dan hendak mencari perlindungan, ia kemudian berkata kepadanya:
“Saya bergetar seperti pohon yang tengah ditebang; batin saya gelisah, saya tidak tahu ke mana harus berpaling; saya tersiksa dalam kengerian, sungguh besar rasa takut saya, ketika saya mendengar syair-syair yang diucapkan Anda.
Seperti ketika sesuatu yang terbakar diceburkan dalam air, atau seperti pulau di tengah lautan badai, atau seperti lampu dalam kegelapan, Anda adalah perlindungan saya, wahai Petapa.
[251] Ajarilah saya, wahai Petapa, naskah suci dan maknanya; sungguh masa lalu saya semuanya telah berupa kejahatan; ajarilah saya, Narada, jalan kemurnian, supaya saya tidak jatuh ke dalam neraka.”Kemudian Bodhisatta mengajarinya jalan kemurnian yang diajarkan kepadanya melalui teladan berbagai raja pada masa lalu yang telah mengikuti kebajikan:
“Dhatarattha Vessamitta dan Atthaka, Yamataggi dan Usinnara dan Raja Sivi, ini dan raja-raja lainnya, melayani para brahmana dan petapa dengan tekun, semuanya pergi ke surga Sakka; wahai Raja, hindarilah kejahatan dan ikutilah kebajikan. Biarlah mereka menyatakan dalam istana Anda, sambil membawa makanan dalam tangan mereka, “Siapa yang lapar atau haus? Siapa yang menginginkan kalung bunga atau minyak urap? Siapa orang telanjang yang akan mengenakan pakaian yang berhias dengan berbagai permata? Siapa yang akan mengambil payung untuk perjalanannya, dan sepatu halus dan indah?’ Biarlah mereka berseru lantang dalam kota Anda pagi dan malam. Jangan pekerjakan orang sepuh atau ternak atau kuda yang berumur: berikan kepada masing-masing penghormatan selayaknya: ketika ia masih kuat ia telah memenuhi pekerjaannya.”
[252] Kemudian Bodhisatta, setelah membabarkan kepadanya mengenai kedermawanan dan perilaku bajik, melihat bahwa raja akan merasa senang kala dibandingkan dengan kereta, lalu mengajarkannya Dhamma dengan perumpamaan kereta yang mengabulkan segala keinginan: “Tubuh Anda seperti kereta, kencang, dan diasup oleh batin sebagai saisnya: setelah berpantang melukai sebagai asnya, kedermawanan sebagai penutupnya, berjalan dengan berhati-hati sebagai keliling rodanya, menangani dengan hati-hati urusan dengan tangan sebagai sisi kereta; kewaspadaan pada perut sebagai nama rodanya, kewaspadaan akan lidah adalah pencegah getaran roda. Bagian-bagiannya semua lengkap melalui ucapan benar, yang dengan baik terpasang bersama oleh pemantangan akan fitnah, kerangkanya semuanya mulus dengan kata-kata ramah dan terpasang kukuh136 dengan ucapan yang diperhitungkan dengan baik; terbangun baik oleh keyakinan dan berpantang dari keserakahan, dengan penghormatan rendah hati sebagai galah kereta, dengan gandar kelembutan dan kepatuhan, dengan tali pengendalian diri, sesuai dengan lima latihan moralitas, dan kuncinya yakni berpantang dari kemarahan, dan payung putih kebajikan, yang dikemudikan dengan pengetahuan sempurna akan musim-musim yang sesuai, setelah memiliki tiga tongkat137 yang disiapkan dalam kepercayaan dirinya yang teguh, memiliki ucapan rendah hati sebagai penjepitnya, dengan ketiadaan kesombongan sebagai tali pengikat, dengan bantalan pikiran tak melekat, mengikuti kebijaksanaan dan bebas dari debu, biarlah kenangan menjadi cambuk Anda, dan penyadaran teguh sebagai kekang Anda; batin mengejar jalan pengendalian diri dengan kuda-kudanya yang semuanya terlatih setimbang, nafsu dan hasrat sebagai jalan yang keliru, namun pengendalian diri adalah jalan lurus. [253] Ketika kuda memburu wujud dan suara dan bau, kecerdasan menggunakan cambuk, dan batin adalah saisnya. Jika kita pergi dengan keretanya, jika ketenangan dan keteguhan ini tangguh, ia akan mendapatkan semua keinginan, wahai Raja, ia tidak pernah masuk ke neraka.[254] Demikianlah, wahai Raja, saya telah menjabarkan kepada Anda dalam berbagai cara bahwa jalan menuju kebahagiaan yang Anda mohon dari Narada untuk diberitahukan kepada Anda supaya saya tidak jatuh ke dalam neraka.138″Setelah membabarkan kepadanya Dhamma dan mencabut ajaran salahnya, dan mengukuhkannya dalam latihan moralitas, ia memerintahkannya mulai sekarang menjauhi sahabat jahat dan mengikuti sahabat bajik dan memperhatikan bagaimana ia berjalan; kemudian ia memuji keluhuran putri dan [255] mengajar istana kerajaan dan selir-selirnya, dan kemudian berlalu dari pandangan mereka kembali ke alam brahma dengan keagungan besar.
Guru, setelah mengakhiri pembabaran-Nya, berkata, “Tidak hanya kini, namun dalam kehidupan lampau pula, para bhikkhu, Saya mengalihyakinkan Uruvela-Kassapa dan memotong jaring pandangan sesat yang mengikatnya;” maka mengatakan demikian, Ia mengidentifikasi Kelahiran itu, dan mengucapkan beberapa syair ini pada akhirnya:
“Devadatta adalah Alata, Bhaddaji adalah Sunama, Sariputta adalah Vijaya, Mogallana Bljaka, Pangeran Licchavi Sunakkhata adalah petapa telanjang Guna; Ananda adalah Ruja yang mengalihyakinkan raja, dan Uruvela-Kassapa adalah raja yang memegang ajaran sesat, dan Bodhisatta139 adalah Maha Brahma; demikianlah kalian melihat kisah kelahiran ini.”
Catatan Kaki :
121 Raja memberikan taman Veluvana kepada Sangha, Mahav.I.22.
Bandingkan pendahuluan ini dengan keseluruhan isi bab.
122 Atau mungkin “Anda, seorang petapa dan guru.” Lihat catatan Rhys David Vinaya, terjemahan, I. Hlm. 138. [Lihat Jat. I. Hlm. 83, Vin. I. Hlm. 36.] 123 ise
124 Dosina.
125 ? nippadesato. Lihat St Petersb. Diet., pradesa.
126 [Ada permainan kata pada Guno attano agunataya.] 127 Vinaye ratam tampaknya digunakan sebagai kata kerja pembantu.
128 [Prof. Cowell telah menulis catatan di tepian naskah ini; namun Scholiast menjelaskan kuddamukhi merujuk kepada pasta sesawi (sasapakuddena… sasapakakkhena) yang dugunakan oleh perempuan untuk wajah mereka.] 129 [Sepasang syair telah dihilangkan, yang merujuk ke Bijaka, dan hampir sama dengan kalimat halaman 22723ff.: “Bijaka menangis setelah mendengar apa yang Kassapa katakan,” Jelas sekali mereka tidak seharusnya ada di sini.] 130 Tersembunyi.
131 [Cp. IV. 43521, terjemahan hlm. 270.] 132 Mereka tinggal di tepian sebelah utara Sungai Gangga, di seberang Magadha.
133 [Sahabat Bajik adalah locus communis Buddhisme. Lihat Ciksa, 41, dan lain-lain.] 134 Untuk menyesuaikan leher dan bahu?
135 Khara mungkin berarti ‘padat’
136 Silesito?
137 [Petapa membawa tidandam, tiga tongkat dalam satu buntalan, namun rujukannya tidak jelas.] 138 Beberapa ungkapan di sini maknanya sulit dipahami. Saya membiarkan baris 1131b tidak diterjemahkan.
139 la sendiri pada saat itu.
0 komentar:
Posting Komentar