Berbagi Praktik Baik

Model PBL (Media Canva, Croombook, Kahoot, Mentimeter) di SDN No.41 Hulonthlangi Gorontalo.

Karya Kelas V

Hasil Karya Kelas V SDN 41 Hulonthalangi Tahun 2023.

ARCA BUDDHA CHINNARA

Arca Buddha Chinnara Lantai 3 Vihara Buddha Dharma Gorontalo.

Pentas Seni "Ibuku Pahlawanku"

Pentas Seni Sekolah Minggu Buddha Guna Dharma.

Siswa Buddha 41

Siswa Agama Buddha SDN No. 41 Hulonthalangi Gorontalo Tahun Ajaran 2023/2024

Senin, 24 Juni 2024

Vessantara Jataka Kesempurnaan Berdana

 

No. 547
Vessantara-Jataka

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

[479] “Sepuluh anugerah,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Guru ketika berdiam dekat Kapilavatthu di Hutan Banyan, mengenai turunnya hujan mukjizat.

Vidhurapandita Jataka Kesempurnaan Kebenaran

 

No. 545
Vidhurapandita-Jataka

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

“Anda pucat, kurus, dan lemah,” dan sebagainya. Guru menceritakan kisah ini selagi berdiam di Jetavana, berkaitan dengan Penyempurnaan Kebijaksanaan. Suatu hari Persamuhan Bhikkhu sedang membahas mengenai Balairung Kebenaran, seraya mengatakan, “Sahabat, Guru memiliki kebijaksanaan besar dan luas, Beliau sigap dan cerdas, Beliau tajam dan teguh dan mampu menghancurkan argumen lawan-lawannya, dengan kekuatan kebijaksanaannya ia menjungkalkan pertanyaan-pertanyaan halus yang diajukan oleh petapa khattiya dan membuat mereka terdiam, dan setelah meneguhkan mereka dalam Tiga Perlindungan dan praktik moralitas, menyebabkan mereka memasuki jalan yang membawa menuju kekekalan.” Guru kemudian datang dan bertanya apa topik yang tengah diperbincangkan Persamuhan saat mereka duduk bersama; dan ketika mendengar topiknya, Ia mengatakan, “Tidaklah luar biasa, para bhikkhu, bahwa Tathagata, setelah mencapai Penyempurnaan Kebijaksanaan bisa menjungkalkan argumen lawan-lawannya dan mengalihyakinkan para khattiya dan yang lainnya. Karena pada zaman lampau, ketika Ia masih mencari Pencerahan Sempurna, Ia bijaksana dan mampu menghancurkan argumen lawan-lawan-Nya. Ya, sungguh pada waktu Vidhurakumara, di puncak Gunung Hitam yang berjarak enam puluh yojana tingginya, dengan kekuatan kebijaksanaan, Saya mengalihyakinkan jenderal yakkha, Punnaka, dan membuatnya terdiam dan memberikan hidupnya sebagai pemberian;” dan mengatakan demikian ia menceritakan kisah masa lampau.

Brahmanarada Jataka Kesempurnaan Upekkha (Mahanarada Kassapa Jataka)

 

No. 544
Mahanaradakassapa-Jataka

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

“Ada seorang Raja Videha,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Guru selagi berdiam di Taman Latthivana, sehubungan dengan pengalihyakinan Uruvela-Kassapa. Saat itu Guru yang telah memulai zaman Dhamma nan agung,

Candakumara Jataka Kesempurnaan Kesabaran (Khandahala Jataka)

 

No. 542
Khandahala-Jataka

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

“Di Pupphavati suatu ketika berkuasa,” dan seterusnya. Guru, ketika berdiam di Gunung Gijjhakuta, menceritakan kisah ini mengenai Devadatta. Isinya terkandung dalam bagian yang menceritakan mengenai perbuatan jahat yang mengakibatkan perpecahan dalam komunitas bhikkhu; cerita ini bisa diketahui sepenuhnya dengan mempelajari perilaku Tathagata dari sejak ia pertama menjadi petapa sampai pembunuhan Raja Bimbisara. Segera setelah menyuruh membunuh Raja Bimbisara, Devadatta menemui Ajatasattu dan berkata kepadanya, “Baginda, keinginan Anda telah tercapai, namun keinginan saya belum tercapai.” Raja menjawab, “Apa hasrat Anda?” “Saya ingin membunuh Dasabala dan kemudian menjadikan diri saya sendiri Buddha.” “Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?” “Kita harus mengumpulkan beberapa pemanah.”

Bhuridata Jataka Kesempurnaan Moral

 

No. 543
Bhuridatta-Jataka

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

“Apa pun permata yang ada,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Guru ketika berdiam di Savatthi, mengenai perumah-tangga yang menjalani Uposatha. Pada suatu hari Uposatha, dikatakan, mereka bangun pagi, mengambil ikrar berpuasa, memberikan derma, dan setelah makan mereka membawa wewangian dan kalung bunga di tangan mereka dan pergi ke Jetavana, dan pada saat mendengar Dhamma mereka duduk di satu sisi. Guru, ketika memasuki Balairung Kebenaran, setelah duduk di tempat duduk Buddha yang berhias, melihat ke perkumpulan umat. [158] Para Tathagata senang bercakap-cakap dengan mereka di antara hadirin atau yang lainnya, yang sesuai dengan tema pembicaraannya sebuah pembabaran muncul; karena itu dalam kesempatan itu, ketika ia mengetahui bahwa pembabaran religius mengenai guru-guru lampau akan muncul sehubungan dengan perumah-tangga ini, ketika ia bercakap-cakap dengan mereka, ia menanyai mereka: “Perumah-tangga, apakah Anda semua melaksanakan hari Uposatha?” Atas tanggapan baik dari mereka, Ia berkata, “Adalah benar dan sungguh baik bagi kalian, perumah-tangga; namun bukanlah hal yang menakjubkan bahwa kalian memiliki guru seorang Buddha seperti Saya seharusnya menjalani hari Uposatha, para petapa zaman dahulu yang tanpa guru meninggalkan kejayaan besar dan mematuhi Uposatha.” Dan dengan perkataan demikian, atas permintaan mereka, ia menceritakan legenda kuno pada masa silam.

Mahosathapandita Jataka Kesempurnaan Kebijaksanaan (Maha Ummagga Jataka)

 

No. 546
Maha-Umagga-Jataka188

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

“Raja Brahmadatta dari Pancala,” dan sebagainya. Guru, selagi berdiam di Jetavana, menceritakan ini mengenai penyempurnaan kebijaksanaan. Suatu hari para bhikkhu duduk di Balairung Kebenaran dan menjabarkan penyempurnaan kebijaksanaan Buddha: “Sahabat, Buddha yang mahatahu, yang kebijaksanaannya luas, tangkas, tajam, menghancurkan pandangan salah, setelah mengalihyakinkan dengan kekuatan pengetahuan-Nya sendiri, para brahamana Kutadanta dan yang lainnya, Petapa Sabhiya dan yang lainnya, perompak Angulimala dan lainnya, Yakkha Alavaka dan yang lainnya, Dewa Sakka and lain-lain, Brahma Baka dan lainnya, membuat mereka rendah hati, dan menahbiskan banyak orang menjadi petapa dan mengukuhkan mereka dalam buah jalan kesucian.” Guru kemudian datang dan bertanya apa yang tengah mereka bahas, dan ketika mereka memberitahu-Nya, la menjawab, [330] “Tidak hanya kini, pada masa lalu pun, sebelum pengetahuan-Nya sempurna, Buddha mahatahu telah memiliki berkah kebijaksanaan yang melingkupi segalanya, karena la menjalani kehidupan demi kebijaksanaan dan pengetahuan,” dan kemudian ia memberitahukan kisah masa lampau.

Nemiraja Jataka Kesempurnaan Tekad (NIMI Jataka)

No. 54162
Nimi-Jataka

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Lihat rambut putih ini,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Guru ketika berdiam di hutan mangga Makhadeva, di dekat Mithila, mengenai sebuah senyuman. Suatu hari di menjelang malam, Guru bersama sekelompok besar bhikkhu sedang berjalan mondar-mandir di hutan mangga, ketika la melihat sebuah tempat yang menyenangkan. Ingin menceritakan mengenai perilakunya pada masa lampau, ia membuat senyuman terlihat di wajahnya. Ketika ditanya oleh Bhikkhu Ananda mengapa Ia tersenyum, Ia menjawab, “Di tempat itu, Ananda, suatu ketika Saya pernah berdiam, dalam konsentrasi meditasi mendalam, pada masa pemerintahan Raja Makhadeva.” Kemudian atas permintaannya, Ia duduk di tempat yang telah disediakan, dan menceritakan kisah masa lampau.

Suvanasama Jataka Kesempurnaan Cinta Kasih (Sama Jataka)

 

No. 540
Sama-Jataka

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Siapa, ketika saya mengisi,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Guru di Jetavana, mengenai bhikkhu tertentu yang menyokong ibunya. Mereka menceritakan bahwa ada seorang saudagar kaya di Savatthi yang memiliki kekayaan delapan belas crore; dan ia memiliki seorang putra yang sangat dikasihi dan disayangi ayah dan ibunya. Suatu hari pemuda ini pergi ke serambi rumah, membuka jendela, dan melihat ke bawah jalan; dan ketika ia melihat keramaian besar pergi ke Jetavana dengan membawa wewangian dan kalung bunga di tangan mereka untuk mendengar pembabaran ajaran, [69] maka ia berseru bahwa ia juga hendak ikut.

Mahajanaka Jataka Kesempurnaan Usaha

 

No. 539
Mahajanaka-Jataka

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

“Siapakah Anda, berjuang”, dan sebagainya. Kisah ini diceritakan Guru ketika berdiam di Jetavana mengenai pelepasan agung. Suatu hari para bhikkhu duduk di Balairung Kebenaran mendiskusikan pelepasan agung Tathagata. Guru datang dan melihat bahwa ini adalah topik pembicaraan mereka; maka ia berkata: “Ini bukanlah pertama kalinya Tathagata melakukan pelepasan agung, Ia juga melakukan pelepasan agung pada zaman dahulu.” Dan di sinilah Beliau menceritakan kisah mas a lalu.

Temiya Jataka Kesempurnaan Kesenangan Indra (Muga Pakkha Jataka)

 

No.538
Muga-Pakkha Jataka1

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

[1] “Jangan Tunjukkan Kecerdasan”, dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Guru di Jetavana mengenai pelepasan agung. Suatu hari para bhikkhu duduk di Balairung Kebenaran. Mereka berbincang dan memuji pelepasan agung Yang Penuh Berkah. Ketika Guru datang dan menanyakan apa topik pembicaraan ketika para bhikkhu tengah duduk berdiskusi di sana. Setelah mendengar apa topik pembicaran mereka, Beliau berkata, “Tidak, para bhikkhu, pelepasan-Ku terhadap dunia, setelah meninggalkan kerajaan-Ku, tidaklah luar biasa manakala Aku telah sepenuhnya melatih kesempurnaan; karena sebelumnya, bahkan ketika kebijaksanaan-Ku masih belum matang, dan selagi Aku masih berupaya meraih kesempurnaan, Aku meninggalkan kerajaan-Ku dan melepaskan keduniawian.” Kemudian atas permintaan mereka, la menceritakan kepada para bhikkhu sebuah kisah dari masa lampau.

Kisah Seorang Bhikkhu Yang Tidak Puas

 

DHAMMAPADA III, 4

        Ada seorang pemuda anak seorang bankir bertanya kepada seorang bhikkhu yang menghampiri rumahnya untuk berpindapatta, apakah yang harus dilakukan untuk membebaskan diri dari penderitaan dalam kehidupan saat ini.

        Bhikkhu itu menyarankan untuk memisahkan tanahnya dalam tiga bagian. Satu bagian untuk mata pencahariannya, satu bagian untuk menyokong keluarga, dan satu bagian lagi untuk berdana.

        Ia melakukan semua petunjuk itu, kemudian pemuda itu menanyakan lagi apa yang harus dilakukan selanjutnya.

        Disarankan lebih lanjut; pertama, berlindung kepada Tiratana dan melaksanakan lima sila; kedua, melaksanakan sepuluh sila; dan ketiga, meninggalkan kehidupan keduniawian dan memasuki Pasamuan Sangha. Pemuda itu menyanggupi semua saran dan ia menjadi seorang bhikkhu.

        Sebagai seorang bhikkhu, ia mendapat pelajaran Abhidhamma dari seorang guru dan Vinaya oleh guru lainnya. Selama mendapat pelajaran ia merasa bahwa Dhamma itu terlalu berat untuk dipelajari, dan Peraturan Vinaya terlalu keras dan terlalu banyak, sehingga tidak banyak kebebasan, bahkan untuk mengulurkan tangan sekalipun.

        Bhikkhu itu berpikir bahwa mungkin lebih baik untuk kembali pada kehidupan berumah tangga. Karena alasan ragu-ragu dan tidak puas, ia menjadi tidak bahagia dan menyia-nyiakan kewajibannya. Dia juga menjadi kurus dan kering.

        Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui masalahnya, Beliau berkata, "Jika kamu hanya mengawasi pikiranmu, kamu tidak akan mempunyai apa-apa lagi yang akan diawasi; jadi jagalah pikiranmu sendiri".

        Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 36 berikut ini:

Pikiran sangat sulit untuk dilihat, amat lembut dan halus; pikiran bergerak sesuka hatinya. Orang bijaksana selalu menjaga pikirannya, seseorang yang menjaga pikirannya akan berbahagia.

        Bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikkhu yang lain mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***

Jumat, 21 Juni 2024

Kisah Seorang Bhikkhu Tertentu

DHAMMAPADA III, 3

        Suatu ketika, enam puluh bhikkhu, setelah mendapatkan cara bermeditasi dari Sang Buddha, pergi ke desa Matika, di kaki sebuah gunung. Di sana, Matikamata, ibu dari kepala desa, memberikan dana makanan kepada para bhikkhu; Matikamata juga mendirikan sebuah vihara untuk para bhikkhu bertempat tinggal selama musim hujan.

        Suatu hari Matikamata bertanya kepada para bhikkhu perihal cara-cara bermeditasi. Bhikkhu-bhikkhu itu mengajarkan kepadanya bagaimana cara bermeditasi dengan tiga puluh dua unsur bagian tubuh untuk menyadari kerapuhan dan kehancuran tubuh. Matikamata melaksanakannya dengan rajin dan mencapai tiga magga dan phala bersamaan dengan pandangan terang analitis dan kemampuan batin luar biasa, sebelum para bhikkhu itu mencapainya.

        Dengan munculnya berkah magga dan phala ia dapat melihat dengan mata batin (dibbacakkhu). Ia mengetahui para bhikkhu itu belum mencapai magga. Ia juga tahu bahwa bhikkhu-bhikkhu itu mempunyai cukup potensi untuk mencapai arahat, tetapi mereka memerlukan makanan yang cukup dan penuh gizi, karena tubuh yang lemah akan mempengaruhi pikiran untuk berkonsentrasi.

        Maka, Matikamata menyediakan makanan pilihan untuk mereka. Dengan makan makanan yang sesuai dan pengendalian yang benar, para bhikkhu dapat mengembangkan konsentrasinya dengan benar dan akhirnya mencapai arahat.

        Akhir musim hujan, para bhikkhu kembali ke Vihara Jetavana, tempat bersemayam Sang Buddha. Mereka melaporkan kepada Sang Buddha bahwa mereka semua dalam keadaan kesehatan yang baik dan menyenangkan, mereka sudah tidak kuatir perihal makanan. Mereka juga menceritakan Matikamata mengetahui pikiran mereka dan menyediakan serta memberi mereka banyak makanan yang sesuai.

        Seorang bhikkhu, yang mendengar pembicaraan mereka tentang Matikamata, memutuskan untuk melakukan hal yang sama pergi ke desa itu. Setelah memperoleh cara-cara meditasi dari Sang Buddha ia tiba di vihara desa. Di sana, ia menemukan bahwa segala yang diharapkannya sudah dikirim oleh Matikamata, umat yang dermawan.

        Ketika bhikkhu itu mengharap Matikamata datang, ia datang ke vihara, dengan pilihan banyak makanan. Sesudah makan, bhikkhu itu bertanya kepada Matikamata apakah ia bisa membaca pikiran orang lain.

        Matikamata mengelak dengan pertanyaan balasan, "Orang yang dapat membaca pikiran orang lain berkelakuan semakin jauh dari 'Sang Jalan'".

        Dengan terkejut bhikkhu itu berpikir, "Mungkinkah saya, berkelakuan seperti perumah tangga yang terikat pikiran tidak suci, dan ia sungguh-sungguh mengetahuinya?"

        Bhikkhu itu kuatir terhadap umat dermawan tersebut dan memutuskan kembali ke Vihara Jetavana.

        Ia menyampaikan kepada Sang Buddha bahwa ia tidak dapat tinggal di desa Matika karena ia kuatir bahwa umat dermawan yang setia itu mungkin melihat ketidak-sucian pikirannya.

        Sang Buddha kemudian berkata kepada bhikkhu itu untuk memperhatikan hanya pada satu hal, yaitu mengawasi pikiran. Beliau juga berkata kepada bhikkhu itu untuk kembali ke vihara desa Matika, tidak memikirkan sesuatu yang lain, tetapi hanya pada obyek meditasinya.

        Bhikkhu tersebut kembali ke desa Matika. Umat dermawan itu tetap memberikan dana makanan yang baik kepadanya seperti yang dilakukannya kepada para bhikkhu lain, dan bhikkhu itu melaksanakan meditasi dengan tanpa rasa kuatir lagi. Dalam jangka waktu yang pendek, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat.

        Berkenaan dengan bhikkhu itu, Sang Buddha membabarkan syair 35 berikut ini:

Sukar dikendalikan pikiran yang binal dan senang mengembara sesuka hatinya. Adalah baik untuk mengendalikan pikiran, suatu pengendalian pikiran yang baik akan membawa kebahagiaan.

        Para bhikkhu yang berkumpul pada saat itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***