Minggu, 06 November 2022

Koneksi Antar Materi - Kesimpulan dan Refleksi Modul 1.1 (Calon Guru Pengerak Angkatan 7)

 

Koneksi Antar Materi - Kesimpulan dan Refleksi Modul 1.1

Perkenalkan nama saya Waluyo Dwi Asmoro, S.Ag saya adalah calon guru pengerak angakatan 7 kota Gorontalo provinsi gorontalo. Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan kesimpulan dan refleksi terhadap materi modul 1.1 tentang pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara.

Ki Hajar Dewantara adalah Bapak Pendidikan Indonesia yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889. Pemikiran-pemikiran beliau tentang pendidikan, seperti misalnya semboyan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani banyak mempengaruhi perkembangan pemikiran pendidikan di Indonesia sejak dulu hingga sekarang.

Pendidikan yang “menuntun” kodrat anak

Pendidikan dan pengajaran menurut KHD adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Pengajaran adalah proses memberikan ilmu untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin, sementara pendidikan adalah menurut KHD adalah menuntun kekuatan kodrat anak. “Maksud pendidikan itu adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat.”

Dalam menuntun sesuai kodrat anak, pendidik diibaratkan seperti petani. Petani dapat merawat, menyiram, dan memberi pupuk pada tanaman. Meskipun pertumbuhan tanaman dapat dijaga, namun petani tidak dapat mengganti kodrat dari tanaman tersebut. Jika kodratnya adalah padi, maka hasilnya pun akan menjadi padi. Demikian juga dengan murid, pendidik tidak dapat mengubah kodrat murid, melainkan “hanya” menuntun tumbuhnya untuk memperbaiki laku hidupnya.

Menuntun tidak dapat dilakukan dengan paksaan. Menuntun menurut KHD justru mendorong anak menemukan kemerdekaan belajar. “Manusia merdeka adalah manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.” Merdeka yang dimaksud oleh KHD berarti tidak bergantung kepada orang lain.

Dalam proses menuntun, dapat dilakukan dengan 3 semboyan KHD, yaitu:

“Ing Ngarsa Sung Tuladha” artinya, di depan, pendidik menjadi teladan bagi murid. Misalnya dalam hal Prilaku. Guru menjadi contoh dengan  memiliki prilaku yang baik tidak jahat.

“Ing Madya Mangun Karsa” artinya, di tengah-tengah, pendidik membangun semangat murid. Misalnya saat ada murid belajar seorang guru selalu memberikan motivasi belajar agar menjadi orang yang sukses dan berguna.

“Tut Wuri Handayani” artinya, di belakang, pendidik memberi dorongan bagi murid. Misalnya jika murid memiliki cita-cita seorang guru harus selalu mendorong untuk memujudkannya.

“Menuntun” yang dimaksud oleh KHD jika direfleksikan ke dalam pendidikan abad 21 ini, yaitu pendidik perlu mengarahkan siswa untuk melakukan kolaborasi, berpikir kritis-reflektif, mengkomunikasikan segala sesuatu, menggerakkan siswa untuk kreatif, dan inovatif. Sementara itu, maksud dari kata selamat dan bahagia adalah menuntun siswa untuk mewujudkan kesejahteraan siswa.

Kodrat Alam dan Kodrat Zaman

Menuntun kodrat anak juga perlu disesuaikan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan lingkungan fisik maupun sosial di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan kondisi zaman saat anak betumbuh. Kodrat alam di daerah gorontalo, Indonesia berbeda dengan di daerah jawa. Proses menuntun kodrat anak akan lebih maksimal jika disesuaikan dengan kondisi alam tempat anak tinggal dan juga kondisi sosio-kulturalnya. Sosial-budaya, serta norma-norma yang ada di lingkungan alam anak tinggal menjadi kodrat anak yang perlu dituntun untuk ditebalkan.

Dalam prosesnya anak akan bertemu juga dengan kebudayaan-kebudayaan lain saat ia berpindah tempat. Untuk itu KHD mengingatkan “waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu”. Kata “barang” yang dimaksud adalah budaya asing yang kita temui. Kita diminta untuk menyesuaikan dengan budaya yang kita miliki. Potensi sosio-kultural alam tempat tinggal anak dapat dijadikan sumber belajar yang bermakna.

Cara belajar dan interaksi anak juga perlu disesuaikan dengan tuntutan zaman (kodrat zaman). Saat ini kecakapan hidup abad 21 diperlukan untuk menyongsong kehidupan berkelanjutan anak sebagai anggota masyarakat nantinya. Untuk itu, perlu memunculkan 4C (critical thinking and problem solving, creative thinking, collaborative, dan communication) dengan memanfaatkan tekhnologi informasi dalam proses pendidikan. Sarana dan prasarana di sekolah juga perlu diupayakan untuk menunjang proses pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya tersedianya internet, komputer, dan sumber belajar penunjang lainnya.

Pendidikan

Pendidik perlu mempelajari ilmu pendidikan yang terdiri dari: ilmu hidup batin manusia, ilmu hidup jasmani manusia, ilmu kesopanan, ilmu keindahan, dan ilmu tambo pendidikan. Memahami anak secara utuh adalah tugas seorang pendidik.

Pendidik juga perlu menyesuaikan “konteks diri anak” saat menuntun anak sesuai kodratnya. Sesuai konteks diri anak maksudnya adalah menyesuaikan dengan usia anak, yaitu masa kana-kanak (Wiraga, 0-8 tahun), masa intelektual (Wiraga – Wirama, 8-16 tahun), dan masa sosial (Wirama, 16-24 tahun). Dengan pendidikan yang sesuai konteks diri anak, proses menuntun anak sesuai kodratnya menjadi lebih tepat.

Budi Pekerti

Tugas pendidik adalah menuntun anak untuk menebalkan garis. Garis diibaratkan sebagai tabiat-tabiat yang ada pada anak. Jika tabiat buruk, maka pendidik perlu tetap menuntunnya agar tetap samar-samar. Menurut teori ini, watak manusia dibagi menjadi dua yaitu intelligible dan biologis. Intelligible adalah hal yang dapat berubah, sementara biologis adalah perasaaan yang tidak dapat berubah, contohnya rasa penakut, rasa malu, dan lain lain. Anak berubah menjadi pemberani karena rasa penakutnya sudah tersamarkan oleh kecerdasan pikirannya.

Watak intellegible memang dapat menutupi kekurangan yang dimiliki pada watak biologis, namun KHD mengatakan bahwa dengan menguasai diri, seseorang akan dapat mengalahkan tabiat-tabiat yang tidak baik tersebut. Oleh karena itu, menguasai diri adalah tujuan dari pendidikan. Penguasaan diri tersebut muncul dalam hal budi pekerti. Seseorang yang memiliki budi pekerti, memiliki keseimbangan antara pikiran (cipta), perasaaan (rasa), dan kemauan (karsa) yang terwujud dalam tenaga (pekerti). Kesempurnaan budi pekerti akan membawa anak dalam kebijaksanaan. Perlu adanya pendidikan yang holistik untuk memunculkan budi pekerti pada siswa. Dalam hal ini peran keluarga menjadi fondasi penting dalam pertumbuhan budi pekerti anak. Sekolah dan orangtua perlu bekerjasama untuk menumbuhkan karakter anak.

Pendidikan yang Memandang Anak dengan Rasa Hormat

“Bebas dari segala ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak, bukan untuk meminta suatu hak, melainkan untuk berhamba pada sang anak.” (Ki Hadjar Dewantara). Hal ini berarti semua hal yang dilakukan pendidik, orientasinya adalah murid. Murid sebagai tokoh utama dalam pendidikan. Oleh karena itu, semestinya tidak ada lagi kekerasan dalam dunia pendidikan yang dilakukan oleh pendidik. Seorang pendidik layaknya orangtua bagi anak yang mendidik dengan memberikan rasa aman, nyaman, dan penuh kasih sayang dengan rasa hormat.

Refleksi perubahan yang saya rasakan

Setelah mempelajari modul ini, saya semakin merasa yakin bahwa panggilan untuk menjadi guru itu adalah tugas yang mulia. Guru menentukan peradaban suatu bangsa. Seperti ada tertulis “Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya ini, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut.” Menjadi guru yang baik bukanlah hal yang mudah, karena jika saya mengajarkan hal yang tidak benar, maka saya dapat menghancurkan peradaban bangsa ini. Oleh karena itu saya harus selalu menjadi pembelajar sepanjang hayat, menyesuaikan dengan kodrat alam dan zaman dimana saya berada untuk mendidik murid secara holistik dan kontekstual. Saya belajar dan mengajar dengan menggunakan berbagai sumber, terutama dalam keilmuan yang saya ajarkan yaitu menjadi guru Agama Buddha.

Apa yang Anda percaya tentang murid dan pembelajaran di kelas sebelum Anda  mempelajari modul 1.1?

Sebelum mempelajari modul 1.1 mengenai Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional – Ki Hajar Dewantara, sebagai guru saya meyakini beberapa hal sebagai berikut:

Guru adalah subjek utama kegiatan pembelajaran.

Guru adalah tugasnya mentranfer ilmu

Sebagai guru saya harus mampu mentransfer ilmu kepada peserta didik saya secara klasikal (ceramah, diskusi, dan tanya jawab). Saya menganggap siswa tidak akan paham kalau materi pelajaran tidak saya jelaskan.

Peserta didik dikatakan telah belajar jika mereka bisa mengerjakan soal  sesuai dengan kompetensi dasar yang tertera di kurikulum serta nilainya mampu melampaui KKM.

Memberikan tugas yang seragam tanpa mempertimbangkan keragaman potensi peserta didik

Pemberian sanksi/hukuman kepada peserta didik dapat mengubah perilaku mereka ke arah yang lebih baik

Apa yang berubah dari pemikiran atau perilaku Anda setelah mempelajari modul ini? 

Banyak hal yang saya pelajari tentang konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara melalui modul 1.1 Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional – Ki Hajar Dewantara. Konsep-konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap pemikiran saya tentang pendidikan. Pengajaran ternyata tidak sama dengan pendidikan. Pengajaran itu merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah untuk hidup anak-anak, baik lahir maupun batin. Pendidikan diartikan sebagai tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya pendidikan menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.

Hidup tumbuhnya anak terletak di luar kecakapan atau kehendak kita sebagai kaum pendidik. Anak-anak adalah makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan-kekuatan kodrat itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu. Dalam menuntun kita dapat mengibaratkan diri kita sebagai petani, dan anak-anak yang kita didik sebagai benih (misalnya benih padi). Kita sebagai pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya padi tersebut, kita dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi hama atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya, tetapi kita tidak dapat mengganti kodrat-nya padi. Kita tidak bisa memaksa padi itu tumbuh seperti jagung.

Sebagai pendidik kita harus terbuka namun tetap waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Pada dasarnya anak bukanlah kertas kosong yang bisa digambar sesuai dengan keinginan orang dewasa tetapi anak sudah membawa kekuatan atau kodratnya yaitu kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam anak berbeda-beda. Kodrat alam anak yang tinggal di pegunungan akan beda kodratnya dengan anak yang tinggal di pesisir pantai. Mereka akan memiliki potensi, bakat dan minat yang berbeda. Maka kita harus menyadari bahwa setiap anak itu beragam dan mempunyai keunikan sendiri-sendiri. Sedangkan kodrat zaman berhubungan dengan zaman yang dialami oleh peserta didik pada saat pengajaran atau pendidikan berlangsung. Untuk pendidikan saat ini, para pendidik harus menekankan pada kemampuan anak untuk memiliki keterampilan abad ke 21 (creative, critical thinking, collaboration, communication)

Menurut KHD ada 3 prinsip untuk melakukan perubahan atau sering disebut 3 azas Trikon, diantaranya yaitu: Kontinuitas, konvergensi, dan konsentris. Kontinuitas maksudnya adalah ketika belajar kita harus berkelanjutan. Kita tidak boleh melupakan budaya dan sejarah dalam melakukan perubahan. Konvergensi maksudnya adalah pendidikan harus memanusiakan manusia dan memperkuat nilai kemanusiaan kita. Dan yang terakhir adalah konsentris maksudnya adalah pendidikan harus menghargai keberagaman dan memerdekakan pembelajar. Jadi jelas sekali terlihat bahwa pendidikan itu memerdekakan.

Tujuan pendidikan utama yang digagas Ki Hajar Dewantara adalah bagaimana pendidikan mampu membuat anak memiliki budi pekerti yang baik. ‘Budi pekerti’ atau ‘watak’ diartikan sebagai bulatnya jiwa manusia. Orang yang mempunyai kecerdasan budi pekerti akan senantiasa memikirkan dan merasakan serta memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Watak atau budi pekerti bersifat tetap dan pasti pada setiap manusia, sehingga kita dapat dengan mudah membedakan orang yang satu dengan yang lainnya. Budi pekerti, watak, atau karakter merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Melalui pendidikan, saya dan kita semua berharap bahwa anak-anak murid kita nantinya bisa bertumbuh menjadi sebaik-baiknya manusia yang memiliki adab dan berbudi pekerti yang baik.

Apa yang dapat segera Anda terapkan lebih baik agar kelas Anda mencerminkan pemikiran KHD?

Hal-hal yang coba saya terapkan agar kelas saya mencerminkan Ki Hajar Dewantara adalah sebagai berikut.

Pertama, saya harus mengubah mindset saya yang tadinya berfikir bahwa anak itu adalah selembar kertas kosong yang tidak/belum tahu apa-apa, saya harus meyakinkan diri saya bahwa setiap anak lahir sudah lengkap dengan potensinya masing-masing, meskipun masih terlihat samar. Saya harus peka membaca dan mengenali setiap potensi anak yang saya didik agar pengajaran dan pendidikan yang saya berikan nantinya, baik metode maupun bahan ajar bisa betul-betul menggali potensi anak seoptimal mungkin.

Kedua, saya mencoba menciptakan suasana kelas yang menyenangkan. Hal ini sejalan dengan kodrat anak yang senang bermain. Kita bisa mengkolaborasikan asiknya permainan ke dalam kegiatan pembelajaran. Misalnya dengan melakukan permainan konsentrasi ketika pembelajaran berlangsung.

Ketiga, saya harus mengupayakan pembelajaran yang berpusat pada anak. Memberikan ruang, kesempatan, dan fasilitas seluas-luasnya agar anak mampu berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran. Saya sebagai pendidik, menempatkan diri saya sebagai fasilitator yang menuntun anak agar ia mampu mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Di akhir pembelajaran penting bagi saya untuk memberikan penguatan terhadap materi-materi konseptual agar anak tidak mengalami miskonsepsi. Selain itu, melalui pembelajaran yang berpusat pada anak saya berharap bisa mengasah keterampilan abad 21 mereka.

Keempat, sebagai wujud dari tujuan pendidikan yang utama yaitu lahirnya anak yang tidak hanya kompeten dari segi akademis, tapi juga berbudi pekerti yang baik. Saya sebagai guru selain memberikan wejangan, harus bisa juga memberikan teladan yang baik. Jadi anak tidak hanya melakukan apa yang saya katakan, tapi harapannya anak mampu meneladani perilaku-perilaku baik yang saya contohkan. Selain sebagai upaya memotivasi anak agar berbudi pekerti baik, ini juga bisa jadi tantangan untuk saya bagaimana caranya agar saya bisa konsisten memberikan keteladanan yang baik. Guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru.

Yang terakhir, saya berharap saya bisa memaknai semboyan Ki Hajar Dewantara, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, di depan saya bisa memberikan teladan bagi setiap anak didik saya, Ing Madyo Mangun Karso, di tengah saya bisa jadi teman yang memberikan semangat, serta Tut Wuri Handayani dari belakang saya bisa memberikan dorongan moral serta semangat belajar. 

Demikian koneksi dan kesimpulan dan refleksi modul 1.1 saya

Terima Kasih.

Salam Guru Pengerak.

 

0 komentar:

Posting Komentar