Dua Belas Hutang Kamma Sang Buddha
Berikut ini secara
singkat dua belas balasan (yang juga dapat dianggap sebagai dua belas hutang
samsara) yang harus dihadapi oleh Bhagava:
(I) Balasan pertama – Fitnahan
Sundari
Dalam kehidupan lampau, Bakal Buddha adalah seorang pemabuk bernama Munali. Ia
menuduh Pacceka Buddha bernama Surabhi dengan tuduhan kasar, “Orang ini adalah
orang yang tidak bermoral yang menyenangi kenikmatan indria secara diam-diam.”
Karena kejahatan ucapan-Nya, Beliau terlahir kembali di alam penderitan
terus-menerus (Niraya). Dan dalam kehidupan terakhirnya sebagai Bhagava, di
depan umum Beliau dituduh oleh Sundari, petapa pengembara perempuan sebagai
pencari kesenangan dan telah menjalin hubungan cinta dengannya.
(II) Balasan kedua – Fitnahan
Cincamana
Dalam kehidupan lampau, Bakal Buddha adalah seorang siswa bernama Nanda dari
seorang Pacceka Buddha bernama Sabbabhibhu. Ia menuduh gurunya sebagai seorang
yang bersifat tidak baik.
Karena kejahatan ucapan-Nya, Beliau harus menderita selama seratus ribu tahun
di Alam Niraya. Ketika terlahir sebagai manusia, sering kali Beliau dituduh
melakukan kejahatan. Dalam kehidupan terakhir-Nya sebagai Buddha, di depan umum
Beliau dituduh oleh Cincamana sebagai seorang asusila yang menyebabkan
kehamilannya.
(III) Balasan ketiga – 500 Murid Buddha menerima fitnahan Sundari
Bakal Buddha adalah seorang brahmana guru yang menguasai tiga Veda, seorang
yang sangat terhormat. Sewaktu Beliau sedang mengajarkan Veda di Hutan Mahavana
kepada lima ratus siswa, mereka melihat di angkasa seorang petapa suci bernama
Bhama mendatangi hutan ini dengan kekuatan batinnya. (Bukannya terinsiprasi)
Bodhisatta memberitahu lima ratus siswa-Nya bahwa petapa itu adalah seorang
munafik yang mencari kesenangan. Para siswa mempercayai apa yang dikatakan oleh
guru mereka dan menyebarkan kata-kata gurunya tentang petapa suci itu sewaktu
ia sedang mengumpulkan dana makanan.
Lima ratus siswa itu terlahir kembali sebagai para bhikkhu siswa Bhagava.
Karena fitnah yang mereka lakukan terhadap sang petapa suci sebagai lima ratus
siswa brahmana guru dalam kehidupan lampau, mereka dituduh telah membunuh
Sundari, si petapa pengembara perempuan, yang sebenarnya adalah korban para
petapa itu. Harus dimengerti bahwa tuduhan terhadap para siswa Buddha juga
berarti tuduhan terhadap Bhagava sendiri.
(IV) Balasan kempat – Percobaan
pembunuhan oleh Devadatta dengan menggunakan batu besar
Dalam kehidupan lampau, Bakal Buddha membunuh adik sepupunya karena iri hati.
Ia melemparkan adiknya ke dalam jurang kemudian melemparnya dengan sebuah batu
besar.
Karena perbuatan jahat itu, Bhagava dalam kehidupan terakhirnya, menjadi korban
rencana Devadatta yang hendak membunuh-Nya; tetapi karena seorang Buddha tidak
dapat dibunuh, Beliau hanya menderita luka di jari kaki-Nya karena terkena
pecahan batu yang dijatuhkan dari atas bukit oleh Devadatta.
(V) Balasan kelima – Percobaan
pembunuhan oleh Devadatta dengan mengirimkan kelompok pembunuh
Dalam salah satu kehidupan lampau, Bakal Buddha adalah seorang anak nakal dan
ketika Beliau bertemu dengan seorang Pacceka Buddha dalam suatu perjalanan,
untuk bersenang-senang, Beliau melempari pribadi mulia tersebut dengan batu.
Karena perbuatan jahat itu, Bhagava pernah diserang oleh sekelompok pemanah
yang diutus oleh Devadatta yang bertujuan untuk membunuh Buddha.
(VI) Balasan keenam – Percobaan
pembunuhan oleh Devadatta dengan menggunakan Gajah Nalagiri
Ketika Bakal Buddha adalah seorang penunggang gajah, Beliau dengan gajah-Nya,
menakut-nakuti seorang Pacceka Buddha yang sedang mengumpulkan dàna makanan
yang seolah-olah hendak menginjak-injak orang mulia tersebut.
Karena perbuatan itu, Bhagava diancam oleh seekor gajah mabuk bernama Nalagiri
di Rajagaha yang dikirim (oleh Devadatta) untuk menginjak-injak Bhagava.
(VII) Balasan ketujuh – Terluka
akibat pecahan batu yang digelindingkan Devadatta
Dalam salah satu kehidupan lampau-Nya, Bodhisatta adalah seorang raja. Karena
keangkuhan-Nya sebagai raja, ia mengeksekusi seorang narapidana (tanpa
mempertimbangkan akibat kamma) dengan tangan-Nya sendiri menusuk orang itu
dengan tombak.
Kejahatan itu membawa-Nya ke alam penderitaan terus-menerus selama banyak tahun
yang sangat lama. Dalam kehidupan-Nya sebagai Bhagava, Beliau menerima
perawatan atas jari kaki-Nya yang luka dengan dibedah oleh Jivaka, seorang
dokter ahli, untuk menyembuhkannya (saat terkena pecahan batu yang dijatuhkan
oleh Devadatta).
(VIII) Balasan kedelapan –
Pembantaian Sanak Keluarga Sakya dan sakit kepala yang dialami Buddha
Dalam salah satu kehidupan lampau-Nya, Bakal Buddha terlahir dalam sebuah
keluarga nelayan. Beliau biasanya bergembira menyaksikan sanak saudara-Nya
menyakiti dan membunuh ikan. (Beliau sendiri tidak melakukan pembunuhan).
Sebagai akibat dari kejahatan pikiran-Nya, dalam kehidupan terakhir-Nya sebagai
Buddha, Beliau sering mengalami sakit kepala. (sedangkan sanak saudara-Nya
dalam kehidupan itu, mereka terlahir kembali sebagai para Sakya yang dibantai
oleh Vinanabha).
(IX) Balasan kesembilan –
Menerima dana berupa gandum
Ketika Bakal Buddha terlahir sebagai manusia pada masa ajaran Buddha Phussa, ia
mencerca para bhikkhu siswa Buddha dengan berkata, “Kalian hanya pantas makan
gandum, bukan nasi.”
Kata-kata kasar itu berakibat, dalam kehidupan terakhir-Nya, Bhagava terpaksa
memakan makanan gandum selama masa vassa di Desa Brahmana Veranjà (Beliau
menetap di sana atas undangan Brahmana Veranja.”)
(X) Balasan kesepuluh – Sakit
punggung pada Sang Buddha
Pernah Bakal Buddha terlahir sebagai seorang petinju bayaran, saat itu ia
memukul punggung lawannya hingga patah.
Sebagai akibat dari kejahatan ini, Bhagava dalam kehidupan terakhir-Nya sering
mengalami sakit punggung.
(XI) Balasan kesebelas – Diare
akut pada Sang Buddha
Ketika Bakal Buddha terlahir sebagai seorang dokter dalam salah satu kehidupan
lampau-Nya, ia dengan sengaja meresepkan obat yang menyebabkan sakit perut
kepada putra seorang kaya yang enggan membayar jasa-Nya.
Atas kejahatan itu, Bhagavà dalam kehidupan terakhir-Nya menderita penyakit
disentri yang akut dan berdarah, sebelum meninggal dunia.
(XII) Balasan kedua belas –
Dukkharacariya (penyiksaan diri sebelum menjadi Buddha) selama 6 tahun
Bodhisatta pernah terlahir sebagai seorang brahmana bernama Jotipala. Ia
mengucapkan kata-kata hinaan terhadap Buddha Kassapa dengan berkata, “Bagaimana
mungkin bahwa orang gundul ini telah mencapai Pencerahan Sempurna? Pencerahan
Sempurna adalah hal yang sangat jarang terjadi.”
Kata-kata hinaan ini berakibat tertundanya Pencerahan Sempurna Bhagava. Para
Bodhisatta lainnya mencapai Pencerahan Sempurna hanya dalam hitungan hari atau
bulan, Buddha Gotama harus melewati enam tahun penuh penderitaan dalam pencarian-Nya.
Dua belas balasan atas
kesalahan masa lampau dari Bakal Buddha diceritakan oleh Bhagava sendiri,
merujuk pada: Khuddaka Nikàya, Therapadana Pali, 39, Avanaphala Vagga,
Pubbakammapilotika Buddha Apadana.
*Hal yang bisa dipelajari dari
12 Hutang Karma Sang Buddha :
1. Buddha mengajarkan
dan sudah menunjukkan untuk berani menghadapi semua akibat perbuatan yang
pernah diperbuat sebelumnya. Mau menghindarpun tidak bisa, lebih baik
menghadapi dengan berani.
2. Kamma pada saat
tertentu bisa memanfaatkan kondisi yang ada untuk mematangkan buah kamma.
Contohnya adalah permusuhan Buddha dan Devadatta. Walaupun demikian, Devadatta
tidak melakukan pahala dengan memenuhi kamma yaitu melukai kaki Sang Buddha.
Malah Devadatta masuk Neraka Avici karena perbuatannya ini.
3. Jika Sang Buddha
“hanya” membayar 12 kamma terakhir-Nya, berapa banyak kamma kita yang masih
harus dibayar? Berhentilah menanam kamma buruk sesegera mungkin.
Semoga perenungan ini
dapat dimanfaatkan.
Sumber :
The Great Chronicle of Buddhas
Buku Kedua
Tipitakadhara Mingun Sayadaw
https://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/dua-belas-hutang-kamma-sang-buddha/
0 komentar:
Posting Komentar