(1) Thera Kondanna Dalam membahas
kisah para Thera ini, penjelasan akan diberikan dalam empat tahap:
(a) Cita-cita masa lampau,
(b) Kehidupan pertapaan yang
dijalankan dalam kehidupan sekarang,
(c) Pencapaian spiritualitas
istimewa, dan
(d) Gelar Etadagga (tertinggi)
yang dicapai.
(a) Cita-cita masa lampau
Balik
ke masa lampau dalam bhadda kappa ini, lebih dari seratus kappa yang lalu,
muncullah Buddha Padumuttara. Setelah muncul di antara tiga kelompok makhluk,
Buddha Padumuttara disertai seratus ribu bhikkhu mengumpulkan dàna makanan
dengan mengunjungi sejumlah desa, kota, dan ibukota kerajaan dengan tujuan
untuk membebaskan banyak makhluk (dari penderitaan) dan akhirnya tiba di Kota
(asal) Haÿsàvatã. Ayah Beliau, Raja ânanda, mendengar berita baik mengenai
kunjungan putranya, dan pergi menyambut Buddha bersama banyak pengikutnya.
Ketika Buddha memberikan khotbah kepada kerumunan yang dipimpin oleh Raja
ânanda, beberapa orang menjadi Sotàpanna, beberapa mencapai kesucian
Sakadàgàmã, beberapa mencapai kesucian Anàgàmã, dan yang lainnya mencapai
kesucian Arahatta pada akhir khotbah tersebut. Raja kemudian mengundang Buddha
untuk makan pada keesokan harinya, dan pada keesokan harinya ia mengutus
seorang kurir untuk menyampaikan pesan kepada Buddha tentang waktu makan. Ia
memberikan persembahan makanan secara besar-besaran kepada Buddha dan seratus
ribu bhikkhu di istana emasnya. Buddha Padumuttara membabarkan khotbah
penghargaan atas persembahan makanan tersebut, kemudian Beliau kembali ke
vihàra. Demikian pula, para penduduk juga memberikan Mahàdana pada keesokan
harinya. Pada hari ketiga raja kembali memberikan persembahan. Demikianlah,
Mahàdana dilakukan oleh raja dan para penduduk bergantian dalam waktu yang
lama. Pada waktu itu, seseorang yang baik, kelak menjadi Koõóa¤¤a, terlahir
dalam sebuah keluarga kaya. Suatu hari, sewaktu Buddha sedang memberikan
khotbah, ia melihat para penduduk Haÿsàvatã membawa bunga, wewangian, dan
lain-lain, pergi menuju kediaman Tiga Permata dan ia pergi bersama mereka ke
tempat Buddha membabarkan khotbah. Ketika itu, Buddha Padumuttara sedang menceritakan
pertemuanNya dengan seorang bhikkhu tertentu yang merupakan bhikkhu pertama
dari seluruh bhikkhu ratta¤¤å (telah lama bergabung dalam Saÿgha) yang menembus
Empat Kebenaran dan terbebas dari saÿsàra di dalam masa pengajaran-Nya. Saat si
orang baik tersebut mendengar hal itu, ia merenungkan, “Sungguh mulia orang
itu! Dikatakan bahwa selain Buddha sendiri, tidak ada orang lain sebelumnya
yang telah menembus Empat Kebenaran. Bagaimana jika aku juga menjadi seorang
bhikkhu sepertinya dan dapat menembus Empat Kebenaran sebelum yang lainnya
dalam masa pengajaran Buddha mendatang!” Pada akhir khotbah Buddha, orang baik
tersebut mendekati Buddha dan mengundang Beliau, “Sudilah Buddha Yang Mulia
menerima persembahan makanan dariku besok!” Buddha menerima undangan tersebut
dengan berdiam diri. Mengetahui bahwa Buddha telah menerima undangannya, si
orang baik tersebut bersujud kepada Buddha dan kembali ke rumahnya. Semalam
suntuk ia menghabiskan waktu dengan menghias tempat duduk dengan bunga-bunga
harum dan juga mempersiapkan makanan-makanan lezat. Keesokan harinya ia
melayani Buddha dan seratus ribu bhikkhu di rumahnya dengan mempersembahkan
makanan-makanan mewah nasi sàli dan makanan-makanan lainnya. Ketika acara makan
selesai, ia meletakkan kain buatan Negeri Vaïga yang cukup untuk membuat tiga
helai jubah di kaki Buddha. Kemudian ia merenungkan, “Aku tidak mencari posisi
religius yang kecil tetapi aku mencari yang besar. Satu hari memberikan
Mahàdana seperti ini tidaklah cukup untuk mencapai cita-cita agung. Oleh karena
itu aku akan bercita-cita dengan melakukan mahàdàna selama tujuh hari
berturut-turut.” Orang baik itu memberikan Mahàdana dengan cara yang sama
selama tujuh hari. Ketika upacara persembahan makanan selesai, ia membuka
gudang kainnya dan meletakkan kain-kain mewah dan halus di kaki Buddha dan
mempersembahkan tiga helai jubah kepada masing-masing dari seratus ribu bhikkhu
tersebut. Kemudian ia mendekati Buddha dan berkata, “Buddha Yang Agung, seperti
halnya bhikkhu yang engkau puji sebagai seorang yang bergelar Etadagga tujuh
hari yang lalu, semoga aku juga dapat menjadi yang pertama menembus Empat
Kebenaran setelah mengenakan jubah dalam masa pengajaran Buddha mendatang.”
Setelah mengatakan hal itu, ia tetap bersujud dengan cara bertiarap di kaki
Buddha. Mendengar cita-cita orang tersebut, Buddha Padumuttara melihat ke masa
depan, “Orang baik ini telah melakukan jasa yang sangat besar. Apakah
cita-citanya akan tercapai atau tidak?” Beliau melihat dengan jelas bahwa hal
itu pasti akan terjadi. Sesungguhnya tidak ada halangan apa pun, bahkan sekecil
atom, yang dapat menghalangi pandangan Beliau jika Buddha ingin melihat masa
lampau atau masa depan atau masa sekarang. Semua peristiwa pada masa lampau
atau pada masa depan meskipun dalam rentang waktu ber-crore-crore kappa, atau
semua peristiwa pada masa sekarang meskipun dalam jarak ribuan alam semesta,
semua dapat dilihat dalam perenungan. (Segera saat semua itu direnungkan, maka
semua hal tersebut terlihat dengan jelas.) demikianlah dengan kekuatan
intelektual-Nya yang tidak dapat dihalangi, Buddha Padumuttara melihat dalam
pandangan-Nya bahwa, “Seratus ribu kappa kemudian akan muncul seorang Buddha
bernama Gotama, di antara tiga kelompok makhluk. Dan cita-cita orang ini akan
tercapai!” Mengetahui hal ini, Buddha mengucapkan ramalan, “Sahabat, seratus
ribu kappa sejak sekarang, seorang Buddha bernama Gotama akan muncul di dunia
ini. Saat Buddha Gotama membabarkan khotbah pertama ‘Roda Dhamma’; pada akhir
khotbah tersebut, Dhammacakkappavattana Sutta, dengan tiga fungsinya, engkau
akan mencapai Sotàpatti-Phala bersama dengan delapan belas crore brahmà.”
Kisah Dua Bersaudara: Mahàkàla
dan Cåëakàla
Setelah melakukan kebajikan
seperti memberikan persembahan selama waktu seratus ribu tahun, si orang kaya
tersebut, bakal Koõóa¤¤a terlahir kembali di alam surga setelah meninggal
dunia. Ia terlahir kembali di alam dewa dan alam manusia bergantian selama
sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan kappa. (Artinya ia
menikmati kehidupan di alam dewa dan manusia selama 99.909 kappa.) setelah
hidup dalam waktu yang sangat lama itu, sembilan puluh sembilan kappa sebelum
kappa Buddha sekarang, si orang baik, bakal Koõóa¤¤a, terlahir dalam sebuah
keluarga dan diberi nama Mahàkala di sebuah desa di dekat gerbang ibukota
Bandhumatã. Adiknya bernama Cåëakàla. Pada waktu itu, Bakal Buddha Vipassã
meninggal dunia dari Alam Surga Tusita dan masuk ke dalam rahim Bandhumatã,
permaisuri Raja Bandhuma. (Seperti yang telah dijelaskan pada bab tentang
riwayat dua puluh empat Buddha, ia akhirnya menjadi seorang Buddha Mahatahu;
saat Mahàbrahmà memohon Beliau untuk membabarkan Dhamma, Beliau merenungkan
kepada siapakah Beliau akan membabarkan Dhamma pertama kali. Kemudian Beliau
melihat adik kandung-Nya sendiri Pangeran Khaõóa dan saudara sepupunya, pemuda
Tissa. “Kedua orang ini,” Beliau memutuskan, “mampu menjadi yang pertama
menembus Empat Kebenaran.” Beliau juga memutuskan, “Aku akan membabarkan kepada
mereka. Aku juga akan menolong ayah-Ku.” Kemudian Beliau melakukan perjalanan
melalui angkasa dari Mahàbodhi dan turun di Taman Rusa Khemà. Beliau memanggil
Pangeran Khaõóa dan Tissa, membabarkan khotbah kepada mereka, pada akhir
khotbah, kedua orang itu bersama dengan delapan puluh empat ribu makhluk
mencapai Kearahattaan. Delapan puluh empat ribu orang yang mengikuti jejak
Bakal Buddha Vipasã, mendengar peristiwa tersebut, kemudian mendatangi Buddha
dan mendengarkan Dhamma dan akhirnya berhasil mencapai Kesucian Arahatta.
Buddha Vipassã menunjuk Thera Khaõóa dan Thera Tissa sebagai Siswa Utama dan
menempatkan mereka di sebelah kanan dan kiri-Nya. Mendengar berita tersebut,
Raja Bandhuma menjadi berkeinginan untuk memberi hormat kepada putranya Buddha
Vipassi, ia pergi ke taman, mendengarkan khotbah dan menerima Tiga Perlindungan;
ia juga mengundang Buddha untuk makan keesokan harinya dan pergi setelah
bersujud kepada Buddha. Setibanya kembali di istana, sebuah pemikiran muncul
dalam benaknya saat ia duduk di paviliun utama, “Putra sulungku telah
melepaskan keduniawian dan menjadi Buddha. Putra keduaku telah menjadi Siswa
Utama di sebelah kanan Buddha. Keponakanku, Pemuda Tissa, telah menjadi Siswa
Utama di sebelah kiri Buddha. Delapan puluh ribu bhikkhu itu dulunya melayani
putraku sewaktu masih menjadi seorang awam. Karena itu, Saÿgha yang dipimpin
oleh putraku dulunya adalah di bawah kekuasaanku dan demikian pula seharusnya
sekarang. Aku harus bertanggung jawab untuk menyediakan empat kebutuhan kepada
mereka. Aku tidak akan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukannya.”
Dengan pikiran demikian, raja membangun tembok kayu di kedua sisi jalan yang
menghubungkan vihàra ke istananya dan kemudian menutupinya dengan tenda; ia
menggantung karangan-karangan bunga setebal batang pohon kelapa dan menghiasnya
dengan dekorasi bintang-bintang emas; ia juga memasang kanopi. Sebagai
lantainya, ia menebarkan batubatu yang indah. Di kedua sisi jalan itu di bagian
dalam tembok di antara tanaman-tanaman bunga, ia menempatkan kendi-kendi air,
dan meletakkan wewangian-wewangian di antara bunga-bunga dan bunga-bunga di
antara wewangian-wewangian. Kemudian ia mengirim pesan kepada Buddha bahwa
telah tiba waktunya untuk makan. Disertai oleh para bhikkhu, Buddha Vipassã
datang ke istana melalui jalan yang tertutup dan setelah makan, Beliau kembali
ke vihàra. Tidak ada orang lain yang berkesempatan bahkan sekadar melihat
Buddha. Bagaimana orang lain dapat memiliki kesempatan untuk mempersembahkan
makanan dan memberi hormat kepada Beliau? Sesungguhnya tidak ada seorang pun
yang dapat. Kemudian terjadi sebuah diskusi di antara para penduduk: “Saat ini
telah tujuh tahun tujuh bulan sejak kemunculan Buddha di dunia ini. Tetapi
sampai saat ini, kita tidak memiliki kesempatan bahkan hanya untuk melihat
Buddha, apalagi untuk mempersembahkan makanan, memberi hormat dan mendengarkan
khotbah-Nya. (Kita tidak mendapatkan kesempatan sama sekali.) Raja secara
pribadi melayani dan memuja Buddha dengan pendapat ‘Buddha adalah Buddhaku,
Dhamma adalah Dhammaku dan Saÿgha adalah Saÿghaku.’ Munculnya Buddha adalah
demi kesejahteraan dunia makhluk-makhluk hidup serta para dewa dan brahmà,
bukan hanya demi kesejahteraan raja. Sesungguhnya, api neraka terasa panas
bukan hanya bagi raja dan bagaikan teratai biru bagi orang lain. Oleh karena
itu, baik sekali jika raja menyerahkan Yang Agung kepada kita (memberikan hak
untuk melayani Buddha); jika tidak, kami akan berperang melawan raja dan
mengambil alih Saÿgha agar dapat menanam jasa pada mereka. Marilah kita
berperang demi hak-hak kita. Tetapi ada satu hal, kita, para penduduk tidak
mampu melakukan hal itu. Marilah kita mencari pemimpin yang dapat memimpin
kita.” Maka mereka menemui jenderal dan secara jujur mengungkapkan rencana
mereka dan bertanya, “O Jenderal, apakah engkau memihak kami atau memihak
raja?” Kemudian jenderal itu berkata, “Aku memihak kalian, tetapi dengan satu
syarat: kalian harus memberikan hari pertama kepadaku untuk melayani Buddha.”
Para penduduk menyetujuinya. Sang jenderal menjumpai raja dan berkata, “Para
penduduk marah denganmu, Tuanku.” Ketika ditanya alasannya, ia berkata, “Karena
hanya engkau sendiri yang melayani Buddha dan mereka tidak mendapatkan
kesempatan itu. Tuanku, masih belum terlambat. Jika mereka diberikan kesempatan
untuk melayani Buddha, mereka tidak akan marah lagi. Jika tidak, mereka
mengancam akan berperang denganmu. ”Jenderal, aku akan berperang tetapi aku
tidak akan menyerahkan Saÿgha.” “Tuanku,” jenderal berkata, menempatkan raja
dalam posisi yang sulit. “Hambamu mengancam bahwa mereka akan mengangkat
senjata melawanmu. Siapakah yang akan memimpin pertempuran ini?” “Bukankah ada
engkau, Jenderalku?” tanya raja dengan nada membujuk. “Aku tidak dapat melawan
rakyat, Tuanku” jenderal berkata. Sang raja menyadari, “Kekuatan rakyat cukup
besar. Jenderal juga salah satu dari mereka.” Oleh karena itu, ia mengajukan
permohonan, dengan berkata, “Kalau begitu, sahabat, izinkan aku memberi makan
Saÿgha hanya selama tujuh tahun tujuh bulan lagi.” Tetapi para penduduk tidak
setuju dan menolak permohonan itu. Raja menurunkan permohonannya setahap demi
setahap menjadi enam tahun, lima tahun dan seterusnya hingga akhirnya menjadi
tujuh hari. Para penduduk akhirnya sepakat, “Sekarang raja hanya memohon tujuh
hari untuk memberikan persembahan makanan, tidak ada gunanya kita keras kepala
menyainginya.” Raja Bandhuma memberikan semua persembahannya selama tujuh hari,
yang ia rencanakan untuk diberikan selama tujuh tahun tujuh bulan. Selama enam
hari pertama, ia melakukannya tanpa mengizinkan para penduduk untuk
menyaksikannya; tetapi pada hari ketujuh, ia mengundang para penduduk dan
memperlihatkan kebesaran persembahan dàna yang ia lakukan, berkata,
“Teman-teman, apakah kalian mampu memberikan dàna sebesar ini?” “Tuanku,” jawab
para penduduk, “Tetapi dàna yang engkau berikan terjadi karena bantuan kami,
bukan?” dan mereka menambahkan, “Ya, kami mampu!” Mengusap air matanya dengan
punggung tangannya, raja bersujud kepada Buddha dan berkata, “Putraku, Buddha
Yang Agung, aku memutuskan untuk menyokong Engkau dan seratus enam puluh
delapan ribu bhikkhu dengan mempersembahkan empat kebutuhan seumur hidup tanpa
bantuan orang lain. Tetapi sekarang aku terpaksa mengizinkan para penduduk
untuk melayani Engkau. Sebenarnya, mereka marah kepadaku dan mengeluhkan
hilangnya hak-hak mereka untuk memberikan persembahan. Putraku, Buddha Yang
Agung, mulai besok dan seterusnya, sudilah Engkau menolong mereka!” Demikianlah
ia dengan sedih mengucapkan kata-kata itu. Hari berikutnya, jenderal memberikan
dàna besar kepada Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha sesuai kesepakatannya dengan
para penduduk. (Berikut ini adalah kisah Saddhàsumanà secara singkat seperti
yang terdapat dalam Komentar Aïguttara Vol. 3)
Kisah Saddhàsumanà
Pada hari yang menjadi bagiannya,
sang jenderal saat mengawasi dàna besar yang ia lakukan, mengeluarkan perintah,
“Hati-hati, jangan sampai ada orang lain yang mengambil kesempatan untuk
memberikan persembahan bahkan hanya sesendok nasi,” dan ia menempatkan pengawal
untuk menjaga kawasan itu. Pada hari itu, seorang janda dari seorang pedagang
kaya Bandhumatã menangis dalam kesedihan besar (karena ia tidak mendapatkan
kesempatan untuk memberikan dàna pada hari pertama); ia mengeluh dengan sedih,
berkata kepada putrinya yang baru pulang dari bermain bersama lima ratus teman
perempuan lainnya, “Putriku, jika ayahmu masih hidup, hari ini aku pasti dapat
menjadi yang pertama memberikan persembahan makanan kepada Buddha.” Sang putri
menghibur, “O ibu, jangan khawatir! Aku akan melakukan sesuatu agar Saÿgha yang
dipimpin oleh Buddha akan menerima dan memakan makanan dari kita.” Setelah itu,
sang putri mengisi sebuah mangkuk emas seharga seratus ribu dengan nasi susu
yang dicampur air. Ia menambahkan mentega, madu, gula, dan lain-lain. Ia
menutupnya dengan sebuah mangkuk emas lain yang diletakkan terbalik dan
mengikat kedua mangkuk itu dengan karangan bunga melati sehingga terlihat
seperti sebuah gumpalan bola bunga. Ketika Buddha memasuki kota, ia membawa
makanan itu di atas kepalanya dan meninggalkan rumah disertai oleh banyak
pelayannya. Dalam perjalanan itu, terjadi percakapan antara si gadis kaya
dengan para pengawal. Pengawal, “Jangan datang ke sini, Gadis!” Gadis, “Paman!
Mengapa kalian tidak mengizinkan aku lewat?” (Orang-orang pada masa lampau
selalu berbuat kebajikan selalu mengucapkan kata-kata yang sopan. Orang lain
tidak mampu menolak permohonan mereka.) Pengawal, “Kami harus menjaga atas
perintah jenderal agar tidak seorang pun yang diizinkan untuk mempersembahkan
makanan, O Gadis.” Gadis, “Tetapi, Paman, apakah kalian melihat ada makanan di
tanganku sehingga engkau menahanku seperti ini?” Pengawal, “Kami hanya melihat
sebuah bola bunga.” Gadis, “Kalau begitu, apakah jenderal kalian berkata bahwa
mempersembahkan bunga juga tidak boleh?” Pengawal, “Kalau mempersembahkan
bunga, itu diperbolehkan, O Gadis.” Gadis itu kemudian berkata kepada para
pengawal, “Kalau begitu, pergilah, jangan menghalangiku, Paman,” dan ia pergi
mendatangi Buddha dan menyerahkan persembahan itu dengan permohonan, “Sudilah,
Buddha Yang Agung, menerima persembahanku dalam bentuk bola bunga ini.” Buddha
menatap seorang pengawal, memberikan tanda kepadanya untuk mengambilkan bola
bunga itu. Si gadis bersujud dan berkata, “Buddha Yang Agung, semoga dalam
hidupku di dalam saÿsàra, aku terbebas dari segala kekurangan dan kekhawatiran.
Semoga aku disayangi oleh semua orang bagaikan bola bunga melati ini dan diberi
nama Sumanà dalam semua kehidupanku pada masa depan.” Ketika Buddha menjawab,
“Semoga engkau sejahtera dan bahagia,” gadis itu bersujud kepada Buddha dengan
gembira dan meninggalkan tempat itu. Buddha pergi ke rumah sang jenderal dan
duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Sang jenderal membawa nasi dan
mempersembahkannya kepada Buddha. Buddha menutup mangkuk dengan tangan-Nya.
Sang jenderal berpikir bahwa Buddha tidak menerima nasi itu karena belum semua
bhikkhu datang. Ketika semuanya telah berkumpul, sang jenderal melaporkan bahwa
semuanya telah datang dan telah duduk. Buddha berkata, “Kami telah memiliki
semangkuk makanan yang kami terima dalam perjalanan. Ketika rangkaian bunga
melati tersebut disingkirkan dari mangkuk itu, terlihatlah nasi susu yang masih
mengepulkan asap. Kemudian pengawal sang jenderal yang membawakan bola bunga
tersebut berkata, “Jenderal, kami telah ditipu oleh seorang gadis yang
mengatakan bahwa ini hanyalah bola bunga.” Nasi susu itu cukup untuk semua
bhikkhu dan Buddha. Hanya setelah memberikan nasi susu itu kepada Buddha, sang
jenderal menyerahkan persembahan yang ia persiapkan sendiri. Setelah selesai
makan, Buddha menyampaikan khotbah penghargaan dan kemudian meninggalkan tempat
itu. Ketika Buddha telah pergi, sang jenderal bertanya kepada para pengawal
tentang gadis itu dan diberitahu bahwa ia adalah putri seorang pedagang kaya.
“Betapa cerdiknya ia! Jika seorang perempuan yang sebijaksana itu menjadi ibu
rumah tangga, tidaklah sulit bagi si bapak rumah tangga untuk mencapai
kenikmatan surgawi.” Setelah memuji gadis itu, sang jenderal berusaha untuk menikahi
gadis itu dan menjadikannya sebagai ibu rumah tangga. Gadis itu bertanggung
jawab atas kekayaan dari kedua rumah, milik ayahnya serta milik sang jenderal,
ia memberikan dàna kepada Buddha hingga akhir hidupnya, dan saat meninggal
dunia, ia terlahir kembali di alam surga, alam kenikmatan indria. Pada saat
itu, terjadi hujan bunga melati yang memenuhi seluruh kota surga hingga
setinggi lutut, “Bidadari surga ini telah memberikan nama bagi dirinya
sendiri,” semua dewa menamainya “Sumanà Devã.” Sumanà Devã terhindar dari alam
sengsara selama sembilan puluh satu kappa, selalu terlahir bergantian di alam
dewa dan di alam manusia; di alam mana pun ia dilahirkan, terjadi hujan bunga
melati terus-menerus dan ia tetap bernama Sumanà Devã atau Sumanà Kumàrã, dalam
masa Buddha kita ini, ia dilahirkan oleh Permaisuri Raja Kosala; bersama
dengannya, di rumah para menteri raja, semua pelayannya terlahir pada hari yang
sama dengan kelahiran Sumanà. Pada saat itu terjadi hujan bunga melati yang
lebat hingga setinggi lutut. Melihat fenomena itu, raja berpikir, “Putriku
pasti telah melakukan kebajikan istimewa pada masa lampau,” dan ia menjadi
sangat bergembira. “Putriku telah memberi nama untuk dirinya sendiri.” Dan
memberinya nama Sumanà. Merenungkan, “Putriku pasti tidak lahir sendirian,”
sang raja mencari pendamping kelahiran putrinya di seluruh kota dan mendengar
bahwa lima ratus bayi perempuan telah terlahir, sang raja mengambil alih
tanggung jawab mengasuh dan membesarkan lima ratus bayi tersebut. Ia juga
memerintahkan bahwa setiap bulannya lima ratus anak perempuan tersebut harus
dihadapkan kepada putrinya. Ketika Putri Sumanà berusia tujuh tahun, Buddha
disertai oleh para bhikkhu datang ke Sàvatthã atas undangan si orang kaya
Anàthapiõóika, karena ia telah menyelesaikan pembangunan Vihàra Jetavana.
Anàthapiõóika menghadap Raja Kosala dan berkata, “Tuanku, kunjungan Yang Agung
ke kota kita bermakna besar bagimu dan kami. Oleh karena itu, mohon izinkan
Putri Sumanà dan lima ratus pelayannya membawa kendi-kendi air, wewangian,
bunga, dan lain-lain untuk menyambut Yang Agung.” Sang raja menjawab,
“Baiklah,” dan melakukan sesuai permintaan si pedagang. Atas perintah raja,
Sumanà mendekati Buddha dan mempersembahkan wewangian, bunga, dan lain-lain
kemudian berdiri di tempat yang semestinya. Ketika Buddha membabarkan khotbah
kepada Sumanà dalam perjalanan itu, ia dan semua pengikutnya bersama-sama
mencapai Sotàpatti-Phala; bersamaan dengan mereka, lima ratus gadis, lima ratus
umat awam perempuan dan lima ratus umat awam laki-laki juga mencapai Buah yang
sama saat mendengarkan khotbah tersebut. Demikianlah, dalam perjalanan pada
hari kunjungan Buddha ke vihàra, sebelum tiba di tempat tujuan, masih dalam
perjalanan, dua ribu orang menjadi Sotàpatti Ariya. Ketika sang putri beranjak
dewasa, Raja Kosala memberikan lima ratus kereta dan lambang kerajaan sehingga
ia dapat menggunakannya untuk melakukan perjalanan, jika ia menginginkan,
bersama lima ratus pendampingnya. Pada masa itu, ada tiga perempuan yang
menerima lima ratus kereta dan lambang kerajaan dari orangtua mereka. Mereka
adalah (1) Putri Cundã, putri Raja Bimbisàra, (2) Visàkhà, putri si orang kaya
Dhana¤caya, dan (3) Sumanà, putri Raja Kosala yang kisahnya baru dibahas.
Demikianlah kisah Saddhàsumanà. Seperti telah dijelaskan, sehari setelah sang
jenderal mendapat izin dari raja untuk mempersembahkan dàna kepada Buddha
secara besar-besaran, para penduduk mempersiapkan persembahan yang lebih besar
dari yang diberikan oleh raja dan melakukan mahàdàna kepada Saÿgha yang dipimpin
oleh Buddha. Ketika persembahan makanan oleh seluruh kota selesai, para
penduduk desa di gerbang kota mendapat giliran untuk memberikan penghormatan.
Kemudian si perumah tangga Mahàkàla berdiskusi dengan adiknya Cåëakàla, “Besok
adalah giliran kita untuk memberi hormat kepada Yang Agung. Penghormatan
seperti apakah yang akan kita lakukan?” “Kakak,” jawab Cåëakàla, “Pikirkanlah
apa yang menurutmu baik.” Kemudian Mahàkàla berkata, “Adikku, jika engkau
menyetujui rencanaku, tanah kita yang luasnya enam belas pai penuh dengan padi
sàli yang telah berbuah. Bagaimana jika kita akan memetik padi muda dari
tangkainya itu dan memasak nasi susu untuk Yang Agung?” Cåëakàla mengajukan
pandangannya, “Kakak, jika kita melakukan hal itu, tidak seorang pun yang akan
mendapatkan manfaat. Karena itu aku tidak menyetujuinya.” Kemudian Mahàkàla
berkata, “Jika engkau tidak setuju, aku akan mengambil bagianku,” maka enam
belas pai tanah itu dibagi menjadi dua, masing-masing seluas delapan pai yang
dipisahkan oleh pagar. Kemudian Mahàkàla memetik padi muda dari tangkainya, dan
mencampurnya dengan susu murni dan air; ia memasaknya dan menambahkan catumadhu
ke dalamnya, dan mempersembahkan (1) makanan (pertama) kepada Saÿgha yang
dipimpin oleh Buddha. Anehnya adalah dari tangkai yang padinya telah dipetik,
penuh lagi dengan padi seperti semula. (Ini adalah dàna dari padi pertama yang
terbentuk dari tahap awal pertanian.) Demikianlah Mahàkàla memberikan dalam
upacara persembahan itu sebagai berikut: (2) porsi pertama dari padi yang
setengah tua untuk dipanen; (3) porsi pertama dari padi yang cukup tua untuk
dipanen; (4) porsi pertama dari padi yang telah dipanen; (5) porsi pertama dari
padi telah diikat; (6) porsi pertama dari padi telah diikat dan ditumpuk; (7)
porsi pertama dari padi yang telah digiling; (8) porsi pertama dari padi yang
telah ditampi; (9) porsi pertama dari padi yang telah disimpan di dalam
lumbung. Demikianlah, setiap kali ia menanam padi, ia melakukan dàna porsi
pertama (aggadàna) sembilan kali. Dan jumlah padi yang ia hasilkan tidak pernah
berkurang karena dàna yang ia lakukan; malah sebaliknya, jumlah padi meningkat
dan bertambah banyak daripada sebelumnya. Inilah perbuatan baik Thera Koõóa¤¤a
sehubungan dengan cita-citanya pada masa lampau.
(b) Kehidupan pertapaan dalam
kehidupan terakhir
Sang perumah tangga baik
Mahàkàla, si bakal Thera Kondanna melakukan kebajikan demikian sepanjang
kehidupan Buddha dan sepanjang kehidupannya, dan ia mengembara dari alam
manusia ke alam dewa dan sebaliknya, menikmati kemewahan dewa dan manusia;
menjelang kemunculan Buddha kita, ia terlahir dalam sebuah keluarga brahmana
kaya di perkampungan Brahmana Doõavatthu di dekat Kota Kapilavatthu. Pada hari
pemberian nama, brahmana cilik itu diberi nama Koõóa¤¤a. Ia diberi pelajaran
tiga Veda dan berhasil menguasai ilmu mengenali tanda-tanda manusia luar biasa.
Pada saat Bakal Buddha kita meninggal dunia dari Alam Tusita dan memasuki rahim
Mahàmàyà, Permaisuri Raja Suddhodana dari Kapilavatthu, dan kemudian lahir.
Pada hari pemberian nama, raja mempersembahkan jubah-jubah baru dan nasi susu
manis dan murni kepada seratus delapan brahmana. Ia memilih delapan brahmana
bijaksana di antara seratus delapan brahmana itu dan meminta mereka duduk
berbaris di halaman istana. Kemudian ia membawa si pangeran cilik, Bodhisatta,
meletakkan Beliau di atas sehelai kain katun putih di hadapan para brahmana
yang akan memeriksa tanda-tanda jasmani Beliau. Seorang brahmana, yang
menempati urutan pertama dalam barisan itu, mengacungkan dua jarinya dan
meramalkan, “Jika anak ini tetap menjadi orang awam, ia akan menjadi seorang
raja dunia. Jika Beliau menjalani kehidupan pertapaan Beliau pasti akan menjadi
seorang Buddha di tiga alam!” demikianlah dinyatakan oleh tujuh brahmana
pertama yang masing-masing mengacungkan dua jari. Dari delapan brahmana itu,
pemuda Koõóa¤¤a adalah yang termuda. Ketika gilirannya tiba untuk meramalkan,
ia memelajari tanda-tanda tubuh bayi itu dengan saksama dan (setelah
merenungkan bahwa seorang yang akan menjadi seorang Buddha tidak mungkin
memiliki tandatanda seorang raja dunia di telapak kaki-Nya dan bayi tersebut
tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan menjadi seorang raja dunia.) ia
mengacungkan hanya satu jari, dengan tegas meramalkan, “Sama sekali tidak
mungkin Pangeran ini tetap menjalani kehidupan rumah tangga. Pangeran ini pasti
menjadi seorang Buddha!” Setelah itu, para brahmana bijaksana itu pulang ke
rumah mereka masing-masing dan memanggil putra-putra mereka dan berkata,
“Putraku, kami sudah tua. Kami mungkin masih hidup atau sudah meninggal dunia
saat Pangeran Siddhattha, Putra Raja Suddhodana, mencapai Kebuddhaan. Ketika
Pangeran mencapai Kebuddhaan, kalian putra-putra kami harus menjadi bhikkhu di
dalam pengajaran-Nya.” Raja Suddhodana membesarkan putranya dalam kesenangan
yang ia berikan dengan perlindungan besar, menyediakan berbagai fasilitas dan
kenyamanan yang dimulai dari penunjukan para pelayannya. Ketika Beliau berusia
enam belas tahun, Pangeran menikmati kemewahan bagaikan dewa dan pada usia dua
puluh sembilan saat Beliau telah mencapai kematangan dalam hal intelektual,
Beliau melihat cacat dalam kenikmatan indria dan manfaat dari melepaskan
keduniawian. Maka pada hari kelahiran putra-Nya, Ràhula, Ia melepaskan
keduniawian dengan menunggangi kuda kerajaan Kaõtaka disertai oleh pendamping
kelahiran dan pelayan pribadiNya Channa, Beliau melewati gerbang kota yang
dibuka oleh para dewa. Dalam satu malam, Beliau melewati tiga kota,
Kapilavatthu, Koliya, dan Devadaha, dan di tepi Sungai Anomà, Beliau mengenakan
jubah dan perlengkapan lainnya yang dipersembahkan oleh Brahmà Ghañãkàra.
Demikianlah Ia tiba di Kota Ràjagaha dalam penampilan seperti seorang Thera
yang telah bergabung dalam Saÿgha selama enam puluh tahun dan berusia delapan
puluh tahun. Setelah mengumpulkan dàna makanan. Beliau memakan makananNya di
bawah keteduhan bayangan Bukit Paõóava. Walaupun Raja Bimbisàra mengundang-Nya
dan menjanjikan akan menyerahkan kerajaannya kepada Beliau, Beliau menolak
tawaran itu dan saat melanjutkan perjalanan, Beliau tiba di Hutan Uruvela.
“Oh!” Beliau berseru dan berkata, “Tanah yang datar ini sungguh menyenangkan!
Bagi mereka yang ingin berlatih meditasi, ini adalah tempat yang ideal.” Dengan
perenungan ini, Beliau menetap di hutan itu dan memulai latihan meditasi
dukkaracariya. Saat Bakal Buddha kita melepaskan keduniawian, semua brahmana
bijaksana kecuali Koõóa¤¤a telah meninggal dunia. Koõóa¤¤a yang termuda masih
dalam kondisi sehat. Mendengar berita bahwa Bodhisatta telah melepaskan
keduniawian, ia berkunjung ke rumah tujuh brahmana yang telah meninggal dunia
tersebut dan berkata, “Dikatakan bahwa Pangeran Siddhattha telah menjadi
seorang petapa. Tidak diragukan Beliau pasti akan mencapai Kebuddhaan yang
sesungguhnya. Jika ayah kalian masih hidup, mereka pasti akan meninggalkan
kehidupan duniawi dan menjadi petapa. Marilah, jika kalian juga ingin menjadi
petapa. Marilah kita mengikuti teladan orang mulia itu dan bersama denganku
menjadi petapa. Tujuh orang itu tidak sepakat dalam cita-cita mereka. Ada yang tidak
menyetujui gagasan tersebut. Hanya empat orang yang mengenakan jubah di bawah
pimpinan Koõóa¤¤a. Setelah menjadi petapa, Kelompok Lima (Pa¤cavaggãya)
mengumpulkan dàna makanan di desa-desa dan kota-kota dan akhirnya tiba di
tempat Bodhisatta. Sewaktu Bodhisatta sedang berlatih meditasi menyiksa diri
selama enam tahun, mereka berharap, “Beliau akan segera mencapai Kebuddhaan!
Beliau akan segera mencapai Kebuddhaan!” Dengan pikiran demikian, mereka
melayani Bakal Buddha, tinggal dan pergi bersama Beliau. Dalam tahun keenam,
Beliau menyadari bahwa praktik dukkaracariya tidak akan membawa-Nya ke Jalan
Mulia dan Buahnya (Ariya Magga-Phala) dan melewatkan waktu-Nya dengan hanya
memakan nasi putih, hanya sebutir biji wijen, dan lain-lain dan Beliau menjadi sangat
kurus dan lemah, karena itu Beliau mengumpulkan makanan dari Desa Senànã dan
memakan apa pun yang tersedia seperti nasi dan kue keras. Kemudian Kelompok
Lima itu melihat bahwa kehidupan semua Bodhisatta telah dinodai oleh
Bodhisatta, mereka meninggalkan Beliau dan pergi ke Taman Rusa Isipatana.
Setelah Kelompok Lima meninggalkan Beliau, dengan memakan apa pun yang tersedia
seperti nasi dan kue keras, kulit, daging, dan darah di tubuh Bodhisatta
menjadi normal kembali dalam dua atau tiga hari. Pada hari purnama, (hari
Beliau mencapai Pencerahan Sempurna) Beliau memakan nasi susu lezat yang
dipersembahkan oleh Sujàtà, istri seorang pedagang kaya. Kemudian Beliau
mengapungkan mangkuk-Nya di atas permukaan Sungai Nera¤jarà dan memutuskan
bahwa Ia pasti akan menjadi Buddha pada hari itu juga. Malam harinya, setelah
dipuji dalam segala cara oleh Raja Nàga Kàla, Beliau pergi ke Mahàbodhi, tempat
di mana sebatang pohon Bodhi berdiri dan duduk bersila di atas Singgasana
Aparàjita, tempat duduk yang tidak tergoyahkan, menghadap ke sebelah timur alam
semesta. Setelah mengembangkan empat usaha, Beliau menaklukkan Màra persis
sebelum matahari terbenam, mencapai Pubbenivàsa ¥àõa pada jaga pertama malam
itu, Dibbacakkhu ¥àõa pada jaga kedua dan, pada jaga ketiga Beliau tercerap
dalam ajaran Kebijaksanaan Pañiccasamuppàda, merenungkan dengan Vipassanà ¥àõa
yang bagaikan intan (Mahàvajirà Vipassanà ¥àõa) yang terdiri dari dua belas
faktor dalam urutan maju dan urutan mundur, dan akhirnya mencapai Kebuddhaan,
setelah mencapai Kemahatahuan istimewa (Asàdhàraõa Sabba¤¤uta ¥àõa) yang
menjadi miliki semua Buddha. Di atas singgasana itu, di bawah pohon Mahàbodhi,
Buddha melewatkan tujuh hari di dalam pencerapan Arahatta-Phala Samàpatti.
Demikianlah Buddha berdiam di tujuh tempat dan karena permohonan Brahmà
Sahampati, Beliau mempertimbangkan, “Kepada siapakah Aku akan membabarkan
Dhamma ini untuk pertama kali?” Kemudian Beliau mengetahui bahwa para
guruguru-Nya âëàra dan Udaka telah meninggal dunia dan ketika Beliau memikirkan
lebih jauh, Beliau mendapat gagasan, “Kepada Kelompok Lima yang telah banyak
membantu-Ku. Mereka melayani-Ku sewaktu Aku sedang menjalani praktik penyiksaan
diri. Bagaimana jika Aku membabarkan kepada mereka pertama kali.” Gagasan
seperti ini dimiliki oleh semua Buddha seperti suatu peraturan. Sebenarnya,
dengan perkecualian Koõóa¤¤a, tidak ada seorang pun yang dapat memahami Empat
Kebenaran dalam pengajaran Buddha. Sedangkan Koõóa¤¤a, demi kemampuannya untuk
menjadi yang pertama dalam memahami Empat Kebenaran, ia telah melakukan
kebajikan yang diperlukan selama seratus ribu kappa dan telah memberikan dàna
istimewa dalam bentuk hasil pertanian yang pertama sembilan kali kepada Saÿgha
yang dipimpin oleh Buddha seperti telah dijelaskan di atas.
(c) Pencapaian spiritualitas
istimewa
Membawa mangkuk dan jubah-Nya,
Buddha berjalan menuju Taman Rusa Isipatana dan akhirnya tiba di tempat
Kelompok Lima Bhikkhu. Para bhikkhu melihat kedatangan Buddha dan mereka
sepakat untuk tidak melakukan kewajiban mereka, tetapi saat Buddha semakin
dekat, mereka tidak mampu mempertahankan kesepakatan mereka: seorang
mengambilkan mangkuk dan jubah dari Buddha, seorang mempersiapkan tempat duduk;
seorang lagi mengambilkan air untuk mencuci kaki; yang keempat mencuci kaki
Buddha; dan yang kelima mengambail kipas daun palem untuk mengipasi Beliau;
demikianlah mereka memberikan pelayanan mereka masing-masing. Ketika Lima
Bhikkhu telah duduk di dekat Buddha setelah melakukan kewajiban mereka, Buddha
menyampaikan Dhammacakkappavattana Sutta dengan tiga fungsinya kepada Lima
Bhikkhu tersebut dengan Thera Koõóa¤¤a sebagai pendengar utama di hadapan
Beliau.
Nama Baru untuk Thera: Annasi
Kondanna
Pada waktu itu Buddha berpikir,
“Karena Petapa Koõóa¤¤a berhasil menjadi yang pertama dalam menembus Empat
Kebenaran yang Kutemukan dengan ribuan kesulitan, ia layak diberi nama A¤¤àsi
Koõóa¤¤a,” dan karena itu Beliau mengucapkan, “A¤¤àsi rata bho Koõóa¤¤o; a¤¤àsi
vata bho Koõóa¤¤o!” (“Oh, Koõóa¤¤a telah memahami Empat Kebenaran! Oh, Koõóa¤¤a
telah memahami Empat Kebenaran!”) Karena ucapan Beliau ini, Yang Mulia Koõóa¤¤a
dikenal sebagai A¤¤àsi Koõóa¤¤a, “Koõóa¤¤a yang menembus”, sejak saat itu.
(d) Gelar Etadagga
Demikianlah Yang Mulia Koõóa¤¤a
menjadi seorang Sotàpanna pada hari purnama di bulan âsàëha (Juni-Juli) tahun
103 Mahà Era (tahun yang sama saat Buddha mencapai Kebuddhaan). Sehari setelah
purnama, Thera Bhaddiya menjadi Sotàpanna; dua hari setelah purnama Thera
Vappa, tiga hari setelah purnama Thera Mahànàma, empat hari setelah purnama
Thera Assaji mencapai Buah yang sama. Lima hari setelah purnama, pada akhir
pembabaran Anattalakkhaõa Sutta, seluruh anggota dari Kelompok Lima tersebut mencapai
Arahatta-Phala. Pada waktu itu, terdapat enam orang Arahanta di dunia ini,
Buddha dan Kelompok Lima Thera. Mulai saat itu, Buddha membantu banyak orang
untuk mencapai Ariya Magga dan Phala, lima puluh lima sahabat yang dipimpin
oleh Yasa, putra seorang pedagang kaya, tiga puluh tiga Pangeran Bhadda di
Hutan Kappàsika, seribu orang mantan petapa di Gayàsãsa dan lain-lainnya.
Setelah membantu banyak orang mencapai Jalan Mulia dan Buahnya, pada hari
purnama di bulan Phussa (DesemberJanuari) pada tahun yang sama, Buddha tiba di
Ràjagaha dan membantu seratus sepuluh ribu brahmana perumah tangga yang
dipimpin oleh Raja Bimbisàra mencapai Sotàpatti-Phala dan sepuluh ribu perumah
tangga berlindung di dalam Tiga Perlindungan. Setelah mengajarkan ajaran-Nya
hingga mekar berlimpah dan berbuah, dengan delapan keindahan dan Tiga Latihan,
di seluruh Jambådãpa, seluruh permukaan daratan Beliau sinari dengan warna
jubah dan seluruh wilayah tertiup oleh angin kencang yang berasal dari para
bhikkhu dan para mulia lainnya. Selanjutnya, saat Beliau tiba di Vihàra
Jetavana di Kota Sàvatthã dan sewaktu berdiam di sana dan duduk di atas Mimbar
Dhamma, tempat duduk seorang Buddha, saat Beliau menyampaikan khotbah tentang
jalan Pembebasan, Beliau berkeinginan untuk mengungkapkan bahwa putra
tertua-Nya Koõóa¤¤a adalah yang terbaik dari semuanya yang pertama kali
menembus Empat Kebenaran, dan Beliau mengucapkan: “Etadaggaÿ bhikkhave mama
sàvakànaÿ bhikkhånaÿ ratta¤¤ånaÿ yadidaÿ a¤¤àsi koõóa¤¤o,” “O para bhikkhu,
dari seluruh para bhikkhu siswa-Ku yang telah lama di dalam Saÿgha (ratta¤¤å)
A¤¤àsi Koõóa¤a adalah yang terbaik.” Demikianlah kata-kata pujian terhadap
Thera, Buddha menganugerahkan gelar Ratta¤¤å Etadagga kepadanya. (Di sini,
‘ratta¤¤å’, arti sebenarnya adalah ‘seorang yang mengetahui waktu malam’,
yaitu, ‘seseorang yang telah melewati banyak malam sejak ia melepaskan
keduniawian’. Dalam masa pengajaran Buddha tidak ada orang lain yang menembus
Empat Kebenaran lebih dulu daripada Koõóa¤¤a. Karena itu Koõóa¤¤a adalah
seorang yang mengetahui banyak malam (yaitu, yang telah hidup selama banyak tahun)
sejak ia menjadi seorang bhikkhu. (Berdasarkan penjelasan ini, seorang individu
ratta¤¤å artinya adalah ‘yang paling senior dalam hal kebhikkhuan’. Atau,
karena Thera Koõóa¤¤a menembus Empat Kebenaran sebelum semua orang lainnya,
sejak penembusannya, ia telah melewati banyak malam. Berdasarkan kata-kata ini,
arti ratta¤¤å adalah ‘yang paling dahulu mengetahui Empat Kebenaran’. Atau,
karena semua Arahanta selalu sadar siang dan malam, ia mendapat gelar rata¤¤å,
‘seorang yang sadar akan siang dan malam’. Karena Thera Koõóa¤¤a adalah yang
paling dahulu menjadi Arahanta, ia mengetahui lebih jelas dari Arahanta
ratta¤¤å lainnya dalam hal pembagian waktu).
Thera Annasi Kondanna Setelah Pencapaian
Kearahattaan
Thera A¤¤àsi Koõóa¤¤a mencapai
kesucian Arahatta pada hari kelima setelah purnama pada bulan âsaëha. Pada hari
purnama bulan Phussa di tahun yang sama, Buddha tiba di Ràjagaha dan pada hari
pertama di bulan Màgha (Januari-Februari), bakal Siswa Utama (Sàriputta dan
Moggallàna) mengenakan jubah. Pada hari ketujuh Yang Mulia Moggallàna menjadi
Arahanta dan Yang Mulia Sàriputta juga menjadi Arahanta pada hari purnama bulan
itu. Dengan demikian lengkaplah kelompok para Arahanta, yaitu Siswa Utama,
Siswa Besar, dan Siswa Biasa, dalam masa pengajaran Buddha, semuanya pergi
mengumpulkan dàna makanan (berbaris sesuai urutan senioritas). Ketika Buddha
membabarkan khotbah, Beliau duduk di atas Mimbar Dhamma, tempat duduk Buddha
yang dihias di tengah-tengah Dhammasala. Jenderal Dhamma, Thera Sàriputta,
duduk di sebelah kanan Buddha dan Thera Moggallàna di sebelah kiri Buddha. Di
belakang kedua Siswa Utama, sebuah tempat duduk disediakan untuk Yang Mulia
Koõóa¤¤a. Para bhikkhu lainnya mengambil tempat duduk di sekeliling Thera.
Karena Koõóa¤¤a adalah yang pertama memahami Empat Kebenaran di dalam masa
pengajaran Buddha dan karena ia juga senior dalam hal usia, kedua Siswa Utama
juga menghormatinya, mereka menganggapnya sebagai Mahàbrahmà, seperti api yang
berkobar besar, atau bagaikan ular nàga yang berbisa; mereka merasa segan
meskipun mereka menempati tempat duduk di depan. Mereka juga merasa malu. Thera
Koõóa¤¤a kemudian merenungkan, “Demi tempat duduk bagian depan ini, kedua Siswa
Utama telah memenuhi Pàramã selama satu asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa.
Meskipun mereka menduduki tempat itu, mereka kurang percaya diri, dan merasa
malu. Aku akan membuat mereka merasa nyaman.” Itulah alasannya (mengapa tempat
duduknya tidak digunakan.) Selain itu, Koõóa¤¤a adalah seorang Thera yang
sangat dihormati. Seperti halnya kemuliaan Buddha. Kemuliaan Thera juga
menyebar ke seluruh penjuru dunia ini serta para dewa dan brahmà dari sepuluh
ribu alam semesta. Oleh karena itu, para dewa dan manusia yang mengunjungi dan
memberi hormat kepada Buddha dengan wewangian, bunga dan lain-lain, mereka akan
segera (setelah itu) mendekati Thera Koõóa¤¤a dan memberi hormat kepadanya,
mengingat, “Yang Mulia ini adalah yang pertama memahami ajaran istimewa Empat
Kebenaran.” Juga ada kebiasaan religius, yang mana jika ada bhikkhu tamu,
mereka akan berdiskusi Dhamma atau saling bertukar sapa. Sedangkan bagi Thera,
ia lebih menyukai berdiam di dalam pencerapan Phala Samàpatti (Ariya vihàra).
Oleh karena itu, baginya diskusi Dhamma dan berbincang-bincang adalah hal yang
tidak berguna. Ini adalah alasan lainnya. Karena dua alasan ini, Thera lebih
menyukai berada jauh dari Guru. Ia meramalkan bahwa keponakannya, pemuda Puõõa,
putra seorang brahmana perempuan Mantàõã, akan menjadi seorang penceramah
Dhamma (Dhamma-kathika) yang terkenal, ia pergi ke perkampungan Brahmana
Doõavatthu dan menahbiskan keponakannya menjadi seorang bhikkhu dan membantunya
menjadi seorang siswa yang menetap bersama guru (antevàsika) dengan pikiran
agar ia dapat berada dekat dengan Yang Agung. Kemudian ia mendekati Buddha dan
mengajukan permohonan, “Buddha Yang Agung, bagiku pemukiman ramai tidak cocok
untukku. Aku tidak dapat menetap bersama kaum awam. Oleh karena itu sudilah
mengizinkan aku untuk menetap di Hutan Chaddanta.” Dan izin tersebut diberikan
oleh Buddha. Setelah mendapat izin dari Buddha, Thera Koõóa¤¤a melipat alas
tidurnya, dan membawa mangkuk serta jubahnya, ia pergi ke Danau Maõóàkinã di
Hutan Chaddanta. Di kawasan Chaddanta, delapan ribu ekor gajah, yang telah
berpengalaman dalam melayani para Pacceka Buddha dan yang berumur panjang
seperti hantu, merasa bahagia dengan pikiran, “Lahan subur yang luas telah
mendatangi kami sehingga kami dapat menanam benih kebajikan.” Maka mereka
meratakan tanah dengan kaki-kaki mereka dan membersihkan rumput-rumput untuk
membuat jalan bagi Thera; mereka juga membersihkan ranting dan dahan-dahan yang
berada di sepanjang jalan Thera dan setelah membersihkan tempat tinggal Thera,
delapan ribu ekor gajah itu berdiskusi: “Teman-teman, jika kita mengharapkan,
‘Gajah ini akan melakukan apa yang diperlukan untuk Thera’ atau ‘Gajah itu akan
melakukan hal ini untuknya.’ Thera akan kembali ke tempat tinggalnya dari
kegiatan mengumpulkan dàna makanan dengan mangkuknya yang telah dicuci seperti
sebelumnya seolah-olah ia pergi mengunjungi desa sanak saudaranya. Oleh karena
itu, marilah kita melayaninya bergiliran tanpa lalai. Kita harus melakukannya
dengan saksama khususnya saat tiba giliran dari gajah tertentu (tanpa mengabaikannya
dengan pikiran itu bukan tugasku).” Dan demikianlah mereka bergiliran melayani
Thera. Gajah yang bertugas akan menyiapkan air untuk mencuci muka, dan ranting
untuk menyikat gigi. Pengaturannya berjalan sebagai berikut. Gajah yang sedang
bertugas, membuat api dengan menggosokkan kayu kering yang dapat terbakar
dengan mudah seperti kayu pinus. Dengan api ini, ia akan memanaskan batu dan
menggelindingkannya dengan menggunakan tongkat kayu ke dalam baskom batu yang
berisi air. Setelah air tersebut terasa cukup panas, ia akan meletakkan sikat
gigi yang terbuat dari tongkat kayu api. Kemudian gajah yang sama akan menyapu
gubuk meditasi yang merupakan tempat tinggal Thera di bagian dalam dan bagian
luar dengan sapu yang terbuat dari ranting pohon. Ia juga akan melakukan
tugas-tugas (lainnya) termasuk menyiapkan makanan untuk Thera. Danau Maõóàkinã
tempat Thera menetap luasnya lima puluh yojanà. Di bagian tengah yang luasnya
dua puluh lima yojanà, bebas dari tanaman ganggang dan tanaman air lainnya.
Airnya jernih, dan di bagian tepi danau itu yang kedalaman airnya setinggi
pinggang, terdapat banyak tanaman teratai putih dengan lebar setengah yojanà
mengelilingi danau itu yang luasnya lima puluh yojanà; di sebelah lapisan
teratai putih tersebut terdapat bunga teratai paduma merah, yang lebarnya juga
setengah yojanà; kemudian terdapat lapisan teratai kumudra putih yang lebarnya
juga setengah yojanà; … teratai biru …; teratai merah…; …ladang padi merah…;
…tanaman merambat yang dipenuhi dengan sayur-mayur yang lezat seperti ketimun,
kundur, labu, dan lain-lain yang lebarnya setengah yojanà; di sebelah lapisan
itu terdapat tanaman tebu yang juga setengah yojanà lebarnya mengelilingi
danau. Batang tebu yang tumbuh di sana besarnya seperti pohon pinang. Di
sebelah kumpulan tanaman tebu terdapat hutan pohon-pohon pisang yang lebarnya
juga setengah yojanà mengelilingi danau. Mereka yang kebetulan memakan dua buah
pisang atau lebih akan menderita, merasa kaku dan tidak nyaman karena
kekenyangan; di sebelah barisan pohon pisang tersebut terdapat hutan pohon
nangka yang buahnya sebesar kendi besar; di sebelahnya lagi terdapat hutan
pohon jambu; di sebelahnya lagi terdapat hutan pohon mangga; demikianlah
seterusnya di danau itu terdapat banyak hutan pohon buah-buahan. Singkatnya,
tidak dapat dikatakan bahwa tidak terdapat buah-buahan yang dapat dimakan di
sekeliling Danau Maõóakinã. Sebalikya terdapat segala jenis buah-buahan di
sana. Selama musim berbunga, angin bertiup, membawa serbuk sari dari
bunga-bunga yang mekar dan meletakkannya di atas daundaun teratai. Tetesan air
jatuh di atas daun-daun itu. Karena panas matahari, serbuk sari tersebut
menjadi matang dan menjadi susu keras yang disebut madu teratai yang kemudian
diambil oleh gajah secara bergiliran dan diberikan kepada Thera. Tangkai-tangkai
teratai besarnya seperti batang pohon kayu atau genderang besar.
Tangkai-tangkai itu juga diambil oleh gajah dan diberikan kepada Thera.
Tiap-tiap tangkai itu mengandung sekitar satu pattha susu teratai. Susu teratai
itu juga dibawa oleh gajah dan diberikan kepada Thera. Gajah-gajah itu
mencampur susu teratai tersebut dengan madu kemudian mempersembahkannya kepada
Thera. Hewan-hewan itu meletakkan batang-batang tebu yang sebesar pohon pinang,
di atas batu datar dan menghancurkannya dengan menginjak-injak tebu tersebut.
Sari tebu tersebut kemudian mengalir ke dalam cangkir batu dan karena panas
matahari sari tebu tersebut menjadi gula tebu yang mengeras seperti susu keras.
Gajah tersebut kemudian membawa kue-kue gula tersebut dan mempersembahkannya
kepada guru mereka. Di Bukit Kelàsa di Himavanta tinggal satu dewa bernama
Nàgadatta. Yang Mulia Thera kadang-kadang berjalan hingga di depan pintu
istananya. Dewa itu akan mengisi mangkuk Thera dengan nasi susu murni yang
terbuat dari mentega yang baru dibuat dan bubuk madu teratai, dewa itu
memberikan Dàna mentega harum dan manis serta susu selama dua puluh ribu tahun
dalam masa kehidupan Buddha Kassapa. Karena itu, nasi susu murni itu yang
terbuat dari mentega dan bubuk madu teratai selalu tersedia baginya sebagai
makanan. Demikianlah, Thera Koõóa¤¤a menetap di dekat Danau Maõóakinã di Hutan
Chaddanta. Ketika ia merenungkan proses-kehidupannya (àyusaïkhàra), ia
mengetahui bahwa hidupnya akan segera berakhir. Ketika ia merenungkan lebih jauh
lagi tentang di manakah ia harus meninggal dunia, ia berpikir, “Delapan ribu
gajah ini yang telah melayaniku dengan baik, selama dua belas tahun mereka
telah melakukan apa yang sulit dilakukan. Aku sangat berterima kasih kepada
mereka. Pertama-tama aku akan menghadap Buddha, memohon izin untuk meninggal
dunia dan mencapai Parinibbàna dan aku akan meninggal dunia di dalam gubuk
meditasi di dekat kawanan gajah ini.” Setelah memutuskan demikian, ia melakukan
perjalanan melalui angkasa menuju Vihàra Veëuvana di Ràjagaha dan menghadap
Buddha. Ia bersujud dengan kepalanya menyentuh kaki Buddha dan menghisap jari
kaki Buddha dengan mulutnya; ia juga merangkulkan tangannya ke kaki Buddha
dengan penuh semangat. Kemudian ia menyebutkan namanya dalam permohonannya
kepada Buddha, “Buddha Yang Agung! Aku Koõóa¤¤a. Yang Selalu Berkata Benar, aku
Koõóa¤¤a.” (Di sini alasan Konóa¤¤a Thera menyebutkan namanya adalah: Pada
waktu itu, di antara para bhikkhu yang mengelilingi Buddha, beberapa Thera
senior mengenalnya sedangkan para bhikkhu muda tidak mengenalnya. Oleh karena
itu, Thera berpikir, “Para bhikkhu yang masih baru yang tidak mengenalku
mungkin akan mencelaku dengan pikiran siapakah yang berambut putih, bongkok,
ompong, dan renta ini? Siapakah dia yang sedang berbicara dengan Buddha? Para
bhikkhu muda ini, yang salah paham terhadapku, akan terlahir di alam sengsara.
Jika aku menyebutkan namaku, mereka yang tidak mengenalku akan segera
mengetahui siapa aku. Demikianlah, dua kelompok bhikkhu—bhikkhu tua yang mengenalku
dan bhikkhu muda yang akan mengetahui namaku—akan gembira dan yakin dengan
pikiran, “Ah, inilah seorang Siswa Besar (Mahàsàvaka) yang telah melepaskan
keduniawian seperti Buddha Yang Agung di seluruh sepuluh ribu alam semesta, hal
ini akan mengantarkan mereka ke alam dewa.” Untuk menutup jalan menuju alam
sengsara dan membuka jalan menuju alam dewa bagi banyak makhluk, Thera
mengungkapkan namanya saat menghadap Buddha.) Pada waktu itu, muncullah dalam
pikiran Thera Vaïgãsa, “Yang Mulia A¤¤àsi Koõóa¤¤a mengunjungi Buddha setelah
dua belas tahun; ia menyentuh kaki Bhagavà dengan kepalanya dan menghisap kaki
Bhagavà dengan mulutnya. Dan ia juga merangkulkan tangannya ke kaki Bhagavà.
Menyebutkan namanya, berkata, “Buddha Yang Agung! Aku Koõóa¤¤a. Yang Selalu
Berkata Benar, aku Koõóa¤¤a.” Bagaimana jika aku menyanyikan syair pujian
terhadap Thera di hadapan Buddha.” Maka ia bangkit dari duduknya, membetulkan
jubahnya sehingga menutupi satu bahunya, merangkapkan kedua tangan ke arah
Buddha dan berkata, “Buddha Yang Agung! Syair ini (pañibhànagàthà) muncul di
kepalaku! Yang Selalu Berkata Baik, syair ini mendadak muncul dalam kepalaku!”
Selanjutnya Buddha mengabulkannya dengan berkata, “Putra-Ku, Vaïgãsa, engkau
boleh memiliki syair yang baik di kepalamu jika engkau menginginkannya.” Maka,
Thera Vaïgãsa menyanyikan syair yang sesuai sebagai pujian terhadap Yang Mulia
Thera Koõóa¤¤a di hadapan Buddha sebagai berikut: 1. Buddha’nu buddho so thero
Koõóa¤¤o tibbanikkamo Làbhi sukha-vihàrànaÿ vivekànaÿ abhiõhaso. “Sang Thera
yang dikenal dengan nama suku Koõóa¤¤a dan yang mengunjungi Buddha Yang
Teragung dan Termulia juga dikenal sebagai Nubuddha, karena ia adalah yang
pertama memahami Empat Kebenaran yang mendalam, yang direnungkan melalui
kecerdasan Buddha. Ia memiliki usaha benar yang istimewa dan kuat. Ia mencapai
tiga bentuk kesunyian tanpa terputus, perlengkapan bagi makhluk yang
berbahagia.” 2. Yaÿ sàvakena pattabba satthu Sàsana kàrinà Sabbassa taÿ
anuppattaÿ appamattassa sikkhato. “Saÿgha yang terdiri dari para siswa mulia
yang mengikuti usaha Buddha pasti mencapai Empat Jalan, Empat Buah, Pengetahuan
Analitis, dan lain-lain, melalui kebijaksanaan mereka. Pribadi yang tertinggi
dan mulia, Yang Mulia Thera Koõóa¤¤a, mencapai seluruhnya—semua Jalan, Buah,
Pengetahuan Analitis, dan lain-lain, mendahului semua siswa lainnya dengan
mulus didukung oleh berbagai fasilitas yang diperlukan, karena ia memiliki
perhatian dan praktik yang tekun di dalam Tiga Latihan.” 3. Mahànubhàvo tevijjo
ceto pariyàya kovido Koõóa¤¤o buddhadàyàdo pàde vandati satthuno, “Sang Thera
yang dikenal dengan nama suku Koõóa¤¤a, yang sangat berkuasa, yang jelas
memiliki Tiga Pengetahuan, Pu, Di, dan â, yang memiliki Cetopariya Abhi¤¤à, ia
mengetahui semua aktivitas batin, yang menjadi yang pertama dan terunggul dalam
mewarisi sembilan harta Lokuttara Buddha, dengan penuh hormat bersujud di kaki
teratai Buddha dengan menyentuh kaki Buddha dengan kepalanya, menghisapnya
(dengan mulutnya), dan merangkulnya dengan tangannya.” Ketika syair ini dinyanyikan,
kesunyian menguasai kerumunan itu. Menyadari kesenyapan itu, Thera Koõóa¤¤a
berbincang-bincang dengan Buddha dan memohon izin, “Buddha Yang Agung, proses
kehidupanku segera akan berakhir. Aku akan segera meninggal dunia dan mencapai
Parinibbàna.” “Di manakah engkau akan meninggal dunia dan mencapai Parinibbàna,
putra-Ku Koõóa¤¤a?” Buddha bertanya. Thera menjawab, “Buddha Yang Agung,
gajahgajah yang melayaniku selama dua belas tahun telah melakukan hal-hal yang
sulit dilakukan. Oleh karena itu aku ingin meninggal dunia dan mencapai
Parinibbàna di dekat gajah-gajah itu di danau di dalam Hutan Chaddanta.” (Di
sini, saat Thera Koõóa¤¤a mengajukan permohonan untuk mencapai Parinibbàna,
jika permohonannya tidak dikabulkan, akan muncul anggapan bahwa Thera bergembira
di dalam lingkaran penderitaan di tiga alam yang Beliau sendiri mengajarkan
merupakan suatu hal yang menyakitkan. Sebaliknya, jika Beliau mengabulkan, akan
muncul anggapan bahwa Buddha mendukungnya untuk meninggal dunia. Untuk
menghindari kedua anggapan ini, Buddha, mengambil jalan tengah, bertanya, “Di
manakah engkau akan meninggal dunia dan mencapai Parinibbàna?”) Selanjutnya
Yang Mulia Thera bersujud kepada Buddha dan berkata, “Buddha Yang Agung, dulu
sewaktu Engkau berlatih dukkaracariya kami mengunjungi Engkau untuk pertama
kali untuk melayani Engkau, sujudku pertama kali kulakukan di Taman Rusa.
Sekarang adalah yang terakhir!” Sewaktu banyak orang sedang bersedih, Thera
bersujud kepada Buddha, mundur dari hadapan Beliau dan berdiri di depan pintu,
menasihati orang-orang, “Jangan bersedih! Jangan berduka! Tidak ada satu pun di
antara semua yang berkondisi, entah para Buddha atau para siswa, yang tidak
akan hancur.” Sewaktu orang-orang menatapnya, Thera melayang ke angkasa dan
turun kembali di dekat danau di dalam Hutan Chaddanta, di sana ia mandi.
Selanjutnya ia mengenakan jubahnya dengan benar, menyingkirkan alas tidurnya
dan melewatkan tiga jaga pertama malam itu dengan berdiam di dalam meditasi
Phala Samàpatti. (Ia tercerap dalam Phala Samàpatti sepanjang malam itu.)
Menjelang pagi, sebelum terang, Thera memasuki Anupàdisesa Parinibbàna. Segera
setelah Thera memasuki Parinibbàna, semua pohon-pohon di Himavanta memekarkan
bunga-bunga dan buah-buah di atas hingga di bawah pohon, mereka juga merunduk.
Gajah yang hari itu mendapat giliran untuk melayani Thera, melakukan
tugas-tugasnya seperti biasa, menyediakan air untuk mencuci muka dan sikat gigi
dari ranting dan berdiri di ujung tembok tidak mengetahui bahwa Thera telah
Parinibbàna. Tidak melihat Thera keluar walaupun ia telah menunggu hingga
matahari terbit, gajah itu mulai bertanyatanya, “Sang Thera mulia biasanya
melakukan jalan-jalan pagi dan biasanya mencuci muka. Tetapi sekarang ia tidak
keluar dari tempat tinggalnya bahkan setelah matahari terbit. Ada apakah
gerangan?” maka ia membuka pintu tempat tinggal Thera lebar-lebar untuk melihat
ke dalam, ia melihat Thera sedang duduk. Ia menjulurkan belalainya untuk
merasakan apakah masih ada napas masuk dan keluar dan mengetahui bahwa tidak
ada napas sama sekali. Kemudian ia menyadari bahwa Thera telah memasuki
Parinibbàna, ia memasukkan belalainya ke dalam mulutnya dan memekik keras.
Suara pekikannya bergema di seluruh Himavanta. Para gajah berdiskusi dan
sepakat. Jenazah Thera diletakkan di atas tubuh gajah yang paling besar.
Gajah-gajah lainnya mengelilinginya, masing-masing memegang ranting yang penuh
dengan bunga. Setelah berulang-ulang mengelilingi Himavanta dan memberi hormat,
mereka membawa jenazah itu ke danau di dalam Hutan Chaddanta. Kemudian Sakka
memanggil Dewa Visukamma dan memberikan perintah, “Visukamma! Saudara tua kita,
Yang Mulia Koõóa¤¤a, telah meninggal dunia dan memasuki Parinibbàna. Marilah kita
memberi hormat kepadanya. Ciptakanlah sebuah peti mati berukuran sembilan
yojanà dan hiaslah dengan kubah!” Visukamma menjalani perintah itu, jenazah
Thera diletakkan di dalam peti mati dan dikembalikan kepada para gajah. Membawa
peti mati itu bersama-sama dan berulang-ulang mengelilingi seluruh kawasan
Himavanta yang luasnya tiga ribu yojanà. Demikianlah gajah-gajah itu memberikan
penghormatan. Dari kawanan gajah, peti mati itu diambil alih oleh para dewa di
angkasa yang melakukan upacara pemakaman. Selanjutnya diambil alih lagi oleh
para dewa hujan, para dewa di awan dingin, dan para dewa di awan panas, para
Dewa Catumahàràjika, para Dewa Tàvatiÿsa dan seterusnya. Demikianlah peti mati
berkubah itu yang berisikan jenazah Thera naik hingga ke alam bràhma. Kemudian
para bràhma mengembalikannya kepada para dewa dan akhirnya kepada kawanan
gajah. Tiap-tiap dewa atau brahmà membawa dua potong kayu cendana, yang
berukuran sebesar dua jari. Tumpukan kayu cendana itu tingginya mencapai
sembilan yojanà. Di puncak tumpukan kayu cendana itu diletakkan peti mati yang
berisikan jenazah Thera. Lima ratus bhikkhu datang melalui angkasa dan
membicarakan Dhamma sepanjang malam. Thera Anuruddhà membabarkan khotbah pada
kerumunan itu. Banyak dewa yang berhasil menembus Empat Kebenaran dan terbebas
(dari saÿsàra). Kegelapan malam menyaksikan pembakaran jenazah itu. Keesokan
paginya, tumpukan kayu harum yang terbakar itu telah padam dan para bhikkhu
mengumpulkan relik-relik yang seputih kuntum melati dan membawa serta menyerahkannya
kepada Buddha yang telah menunggu dan menyambut mereka di pintu Vihàra
Veëuvana.
Munculnya Sebuah Cetãya dari
Dalam Tanah
Memegang relik-relik tersebut,
Buddha membabarkan khotbah yang sesuai untuk situasi tersebut dan membangkitkan
perasaan religius (dalam batin mereka yang hadir), setelah itu Beliau merentangkannya
tangan-Nya ke arah tanah. Dan seketika, sebuah cetãya yang berbentuk gelembung
perak besar muncul menembus tanah. Dengan kedua tangan-Nya Buddha menyemayamkan
relikrelik Thera Kondanna di dalam cetãya. Disebutkan bahwa cetãya tersebut
masih ada hingga saat ini.
Demikianlah kisah Thera Kondanna